Oleh: Pray. Ksn
Bismillahirrohmaanirrohiim
SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH?
A. PROLOG
Tela’ah terhadap Ahlussunnah Wal
Jama’ah (Aswaja/ اهل السنة والجماعة السلفية
الاشعرية) sebagai bagian dari kajian ke-Islam-an merupakan upaya yang
mendudukkan Aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk
mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara
subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang
diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis
pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu
yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan
aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan
tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa
membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika
hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (Hurriyah);
yakni kebebasan berfikir (Hurriyah al-ro’yi), kebebasan berusaha dan
berinisiatif (Hurriyah Al-Irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (Hurriyah
Al-Harokah).
Ahli Sunnah Wal Jama’ah rupanya
begitu menarik. Begitu banyak pihak yang mengklaimnya bahwa merekalah yang pantas
disebut sebagai Ahli Sunnah Waljama’ah sebagai pewaris tunggal Rasulallah saw
dan para sahabatnya. Lantas siapa sebenarnya mereka yang disebut Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah itu ?
Berangkat dari pemikiran di atas,
maka persoalan yang muncul adalah siapakah golongan Aswaja itu? Bagaimana
perkembanganya? Apakah aliran-aliran Islam yang ada termasuk golongan Aswaja ?
B. PENGERTIAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
ASWAJA sesungguhnya identik
dengan pernyataan Rosulullah "Ma Ana 'Alaihi Wa Ashabi"
seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rosulullah SAW dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa: "Bani
Isroil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah
menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu golongan".
Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai Rosulullah?",
lalu Rosulullah menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi Wa Ashabi"
yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh
para sahabatku.
Dalam hadits tersebut Rosulullah
SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa
yang dilakukan oleh Rosulullah dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu
tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan
dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi Wa Ashabi"
atau Ahli Sunnah Wal Jama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thoriqoh
Fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" (Metode atau cara memahami nash dan
bagaimana mentafsirkannya).
Dari pengertian diatas maka Ahli
Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rosulullah SAW. Jadi
bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah
yang dikaitkan dengan lahirnya konsep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (Direkonstruksi)
oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat Tahun 935 M) dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi (Wafat Tahun 944 M) pada saat munculnya berbagai golongan yang
pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thoriqoh yang
dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Secara semantik arti Ahlussunnah
Wal Jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan
dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut
madzhab (ashab al-madzhab). Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping
memiliki arti al-Hadits. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut
jalan Nabi, para Shohabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan
orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal
Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Sahabat dan
tabi’in.
Sejak dini Rasulallah saw telah
mensinyalir eksistensi mereka ketika turunnya sebuah ayat Alqur’an: ”Maka kelak
Allah swt akan mendatangkan suatu kaum yang Allah swt mencintai mereka dan
merekapun mencintainya” (QS. Al-Maidah: 54). Bersamaan dengan turunnya ayat
tersebut, Rasulallah saw memberi isyarat dengan menunjukan jarinya kepada Abu
Musa Al-Asy’ari dan bersabda: “Wahai Abu Musa Al Asy’ari,kaum itulah pada
hakikatnya adalah pengikut -pengikutmu.” (HR. Imam Al-Hakim).
Ahlu sunnah berarti ialah
penganut sunnah Nabi, Wal Jama’ah berarti yang menganut I’tiqod jamaah para
sahabat Nabi saw. Maka pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan
mayoritas umat Nabi Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits
Rosulullah:
“…Faman aroda buhbuhata
al-jannati falyalzimi al-jama’ah…”
Maknanya:
“…maka barang siapa yang
menginginkan tempat lapang disurga hendaklah berpegang teguh pada al-jama’ah
yakni berpegang teguh pada aqidah al-jama’ah”. (Hadits ini dishohihkan oleh
Imam al-Hakim dan Imam At-Tarmidzi mengatakan “Hadits ini hasan shohih”).
C. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Periode Pada Masa Rasulullah
Saw.
Pada masa hidup Nabi Muhammad
SAW, semuanya mudah dan gampang, karena segala sesuatu dapat ditanyakan kepada
beliau. Perselisihan paham timbul sesudah Nabi Yang Sangat Mulia Nabi
Muhammad S.A.W. Wafat tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah (Tanggal 8 Juni
632 Masehi). Pada hari wafat beliau sekumpulan kaum Anshar (Sahabat-sahabat
Nabi yang berasal dari Madinah) berkumpul di suatu Balairung yang bernama
SAQIFAH BANI SA’IDAH untuk mencari kholifah (Pengganti Nabi yang sudah wafat).
Kaum Anshor ini dipimpin oleh
Sa’ad bin Ubadah (Ketua kaum Anshar dari suku Khozraj). Mendengar hal ini kaum
Muhajirin (Sahabat-sahabat dari Mekkah yang pindah ke Madinah) datang
bersama-sama ke Balairung itu, dengan dipimpin oleh Sayyidina Abu Bakar Shiddiq
R.a. Sesudah terjadi perdebatan yang agak sengit antara kaum Anshor dan kaum
Muhajirin yang setiapnya mengemukakan calon dari pihaknya, bersepakatlah mereka
mengangkat Sahabat yang paling utama Sayyidina Abu Bakar Shiddiq sebagai
Kholifah yang pertama. Perdebatan ketika itu hanya terjadi antara golongan kaum
Anshor yang mengemukakan Sa’ad bin Ubadah sebagai calonnya dengan kaum
Muhajirin yang mengemukakan Sayyidina Umar bin Khotab atau Sayyidina Abu Bakar
sebagai calon-calon kholifah Nabi.
Dalam rapat itu tidak ada
seorangpun yang mengemukakan Sayyidina’Ali bin Abi Tholib sebagai Kholifah
pertama pengganti Nabi. Paham kaum Syi’ah belum ada ketika itu. Yang ada hanya
kaum Anshor dan kaum Muhajirin, tetapi ternyata bahwa perselisihan paham antara
kaum Anshor dan kaum Muhajirin tidak menimbulkan firqoh dalam ushuluddin,
karena perselisihan pendapat sudah selesai dikala Sayyidina Abu Bakar sudah
terangkat dan terpilih secara aklamasi (suara sepakat).
Periode Pada Masa Sahabat
Rasulullah
Pada tahun 30 Hijriyah timbul
paham Syi’ah yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’
yang beroposisi terhadap Kholifah Sayyidina Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk
Islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak begitu dapat penghargaan dari Kholifah
dan juga dari ummat Islam yang lain. Oleh karena itu ia jengkel. Sesudah
terjadi “Peperangan Siffin”, peperangan saudara sesama Islam, yaitu antara
tentara Kholifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah bin Abu Sofyan
(Gubernur Syria) pada tahun 37 Hijriyah timbul pula firqoh Khowarij, yaitu
orang-orang yang keluar dari Sayyidina Mu’awiyah R.a. dan dari Sayyidina ‘Ali
K.w.
Periode Abad Ke II Hijriyah
Kemudian timbul pula Kaum
Mu’tazilah, yaitu kaum yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ (Lahir 80 H – wafat
113 H) dan Umar bin Ubeid (Wafat 145 H). Kaum Mu’tazilah ini mengeluarkan fatwa
yang ganjil-ganjil, yang berlainan dan berlawanan dengan i’tiqod Nabi dan
sahabat-sahabat beliau. Di antara fatwa-fatwa yang ganjil dari Kaum Mu’tazilah
itu, ialah adanya “Manzilah Bainal Manzilatein”, yakni ada tempat di
antara dua tempat, ada tempat yang lain selain surga dan neraka. Banyak lagi
fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah, umpamanya fatwa yang mengatakan bahwa sifat Tuhan
tidak ada, bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa mi’roj Nabi hanya dengan ruh saja,
bahwa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadits-hadits Nabi, bahwa surga
dan neraka akan lenyap, dan lain-lain fatwa yang keliru dll.
Kemudian timbul pula paham
Qodariyah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia
sendiri, tidak sangkut-paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan Tuhan
kepada manusia, sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak perduli lagi apa yang akan
dibuat oleh manusia dll.
Kemudian timbul pula paham,
Jabariyah yang mengatakan bahwa sekalian yang terjadi adalah dari Tuhan,
manusia tak punya daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhtiyar dll.
Kemudian timbul pula paham
Mujassimah, yakni paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, punya tangan,
punya kaki, duduk di atas kursi, turun dari tangga serupa manusia, Tuhan adalah
cahaya seperti lampu, dan lain-lain kepercayaan.
Kemudian lahir pula paham-paham
yang keliru tentang tawasul dan wasilah, tentang ziarah dan istighatsah dari
Ibnu Taimiyah yang semuanya mengacaukan dunia Islam dan kaum Muslimin.
Di wilayah sejarah, proses
pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rosyidun, yakni
dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Kholifah Ali bin Abi
Thalib KW dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Kholifah ke-empat tersebut,
setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat
Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan seperti dijelaskan diatas .
Di antara kelompok-kelompok itu,
adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan
Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan
al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat
kultural (Tsaqofiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara
jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi
politik (Firqoh) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan
sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan
sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan
atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan
pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di
antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (W. 179
H), Imam Syafi’i (W. 204 H), Ibn Kullab (W. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (W. 241
H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (W 324 H) dan Abu Mansur
al-Maturidi (W. 333 H).
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja)
lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin,
debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an, apakah ia makhluk atau
bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salaf (terdahulu)
dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Kepada dua ulama terakhir inilah Abu
Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (W. 333 H), permulaan
faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti
benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya. Perkataan Ahlussunah wal
Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan Ahlussunah saja, atau
Sunny saja dan kadang-kadang disebut ‘Asy’ari atau Asya’iroh, dikaitkan kepada
guru besarnya Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari. Terhadap madzhab al-Asya’iroh ini ada
yang barangkali tidak tahu jika sebutan ini adalah kata lain dari Aswaja.dan
ini sangat disayangkan karna bisa menjadi faktor retaknya kesatuan golongan Ahlus
Sunnah dan terpecah-pecahnya kesatuan Jama`ah, sehingga sebagian orang yang
jahil memasukkan al-Asya’iroh dalam kelompok golongan yang sesat padahal jelas
jelas mereka Aswaja karna Nama Asya`iroh justru diambil dari nama salah satu
pendiri Aswaja Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.!!
D. ALIRAN AHLUS SUNNAH WALJAMA’AH ASY’ARIYAH DAN AL MATURIDIYAH.
Al-Imam Asy’ari
Aliran ini disandarkan kepada
perumusnya yaitu Imam Abu Hasan Al-Asyari (260-324 H). Mula-mula beliau berguru
kepada tokoh Mu’tazilah bernama Abu Ali Al-Juba’i yang juga merupakan bapak
tirinya. Beliau pun juga dikenal sebagai penganut faham Mu’tazilah yang utama.
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari juga sering diminta menggantikan mengajar di majelis
pengajian gurunya Al-Juba’i. Namun seiring perjalanan waktu, dikemudian hari
beliau merasa ketidakcocokan dengan aliran Mu’tazilah. Hal itu mencapai
puncaknya setelah terjadi diskusi-perdebatan antara Imam Asy’ari dengan gurunya
Al-Juba’I sebagai berikut:
“Imam Asy’ari: Bagaimana
menurut pendapat anda tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan
: mukmin, kafir dan anak kecil.
Al-Juba’i: Orang mukmin masuk
surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
Imam Asy’ari: Apabila anak
kecil itu ingin masuk surga, apakah mungkin?
Al-Juba’i: Tidak mungkin,
bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada
Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
Imam Asy’ari: Seandainya anak
kecil itu berkata: Memang aku belum beramal. Seandainya aku dihidupkan sampai
dewasa, tentu aku akan beramal seperti amalnya orang mukmin.
Al-Juba’i: Allah akan menjawab:
Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa niscaya engkau
bermaksiat dan engkau akan masuk neraka. Karena itu Aku sengaja mematikanmu
sebelum engkau dewasa.
Imam Asy’ari: Seandainya orang
kafir itu bertanya kepada Allah: Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana
mengetahui keadaan si anak kecil, mengapa Engkau tidak menjaga kemaslahatanku
dan mematikan aku selagi masih kecil?”.
(Maka Al-Jubai terdiam, tidak
mampu menjawab)
Beberapa waktu lamanya ia
merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dan faham ahli
fiqih-Hadits. Ketika mencapai umur 40 tahun, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari
mengurung diri dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada
hari jumat, dia naik mimbar Masjid Basrah, menyatakan secara resmi keluar dari
aliran Mu’tazilah dengan berpidato:
“Wahai sekalian manusia,
barang siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa belum
mengenalku, maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu
aku berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk; bahwa sesungguhnya Allah tidak
melihat dengan mata; bahwa perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri yang
memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak faham-faham Mutazilah dan keluar
daripadanya”.
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari setelah
keluar dari Mu’tazilah beliau merumuskan ajaran-ajarannya kembali berdasarkan
manhaj salafus shaleh, beliau mengikuti pendapat imam Malik bin Anas dan Imam
Ahmad bin Hanbal. Beliau merumuskan ajarannya berada ditengah-tengah antara
kaum Mu’tazilah yang rasionalis-liberalis dengan kaum Anthropomorpis-literalis.
Beliau kembali ke manhaj salaf dengan mendasarkan kepada nash Al-Quran dan
Hadits, tetapi menerangkannya dengan menggunakan metode Scholastis yang
rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata perumusan
ajaran-ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat Islam.
Imam Abu Hasan Asyari pernah
mengatakan: “Sesungguhnya banyak pengikut aliran Mu’tazilah dan Qadariyah
yang menuruti hawa nafsu mereka untuk bertaqlid pada pimpinan-pimpinan mereka
dan orang-orang yang mendahului mereka, sehingga mereka mentakwilkan Al-Quran
menurut pendapat mereka sendiri, dengan suatu ta’wilan dimana Allah tidak menurunkan
padanya suatu kekuasaan dan tidak menjelaskan padanya suatu bukti dan merekapun
tidak menukilkan dari Rasul, begitu pula tidak dari orang-orang salaf terdahulu”.
Seorang Ulama dan peneliti asal
Mesir, Dr. Muhammad Abu Zahrah menuliskan metodologi dan pemikiran Imam Hasan
Asy’ari sebagai berikut:
1.
Menempatkan Al-Quran dan hadits sebagai
sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan argumentasi atas segala macam
bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa AL-Quran maupun Hadits
sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Asy’ariyah).
2.
Meletakkan tekstual nash (Dhawahur An-Nushus)
yang masih mungkin membutuhkan interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih,
tanpa harus dipaksakan masuk dalam tasybih secara murni. Dalam hal ini mempunyai
dampak atau konsekuensi logis, bahwa ia tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman
kalau Allah mempunyai wajah, akan tetapi sangat berbeda dengan wajah semua
mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan yang tidak sama dengan tangan
makhluk-nya.
3.
Memperbolehkan berhujjah dalam hal
akidah, meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa
sebenarnya hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas ia
menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujuan akidah (Tentunya
hadits ahad yang sahih).
Imam Abu Hasan Asyari telah
menulis sekitar 300 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu. Diantara kitabnya
yang terkenal adalah Al-Ibanah An Ushul Ad-Dinayah, sebuah kitab besar tentang
Ushuludin, Kitab Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Kitab Maqalatul Islamiyyin
dan Al-Luma’ dll.
Orang-orang yang mengaku pengikut
Imam Ahmad bin Hanbal (Kaum Hanbaliyin) yang juga kadang disebut kaum salaf
tetap mencurigai beliau, karena beliau sebelumnya dikenal sebagai penganut Mu’tazilah
disamping karena Imam Asy’ari menggunakan metode scholastik yang dianggap masih
berbau Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i. Akibatnya orang-orang
Hanbaliyin-Salafiyin menentangnya dan mengkafirkannya bahkan menghalalkan darah
orang-orang yang mendukung ajarannya. Penentangan orang-orang
Hanbaliyin-Salafiyin terhadap faham Asyariyah, bisa diruntut sebagai berikut:
a.
Sepeninggal Khalifah Al-Watsiq, tampuk
kekuasaan ada ditangan Khalifah Al-Mutawakkil (205-247 H). Khalifah
Al-Mutawakkil tidak mendukung faham Mutazilah, beliau kembali melarang ajaran
tentang kemakhlukan Al-Quran bahkan beliau melakukan pembersihan terhadap
ulama-ulama Mu’tazilah yang dulu mempropagandakan bahwa Al-Quran adalah
makhluk. Beliau sangat menghoramati dan mendukung ajaran-ajaran Imam Ahmad bin
Hanbal.
b.
Sejak masa pemerintahan Khalifah
Al-Mutawakkil, banyak menteri yang diangkat dari kalangan Hanbaliyin, pengikut
Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi oleh ulama-ulama
Hanbaliyin.
c.
Ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asy’ari yang
eks Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i yang merumuskan kembali manhaj
salafus-saleh berdasarkan nash Al-Quran dan Hadits tetapi dengan metode
scholastik, kenyataannya menarik perhatian dan diterima oleh banyak orang. Hal
ini tidak disukai dan dicurigai oleh kaum Hanbaliyin-Salafiyin yang merasa
lebih salaf dari dulunya. Popularitas ajaran Asy’ariyah yang bermazhab Syafi’iyah
dikhawatirkan mengurangi pengaruh kaum Hanbaliyin-Salafiyin dilingkungan istana
Khalifah.
d.
Salah seorang menteri pada masa Khalifah
Al-Qaim Biamrillah (391-467 H) yang bernama Amid al Mulk sampai-sampai
mengeluarkan praturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang penganut Asy’ariyah.
Disatu pihak orang-orang
Hanbaliyin-Salafiyin yang menentang ajaran Asy’ariyah, di pihak lain banyak ulama-ulama
besar Syafi’iyah yang mendukung ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asyari,
diantaranya:
1.
Abu Bakar bin Tayyib Al-Baqillany (Wafat
403 H). Beliau lahir dikota Basrah. Kitab karangannya yang terkenal adalah At
Tahmid, artinya pendahuluan, Kitab At Tahmid ini perlu dipelajari sebelum
seseorang memasuki Ilmu Kalam, berisi antara lain tentang atom (jauhar fard),
sifat (ardl) dan cara pembuktian.
2.
Abu Ma’aly bin Abdillah Al-Juwainy
(419-478 H), lahir di Nisabur kemudian berpindah ke Baghdad, Beliau mengikuti ajaran
Imam Asy’ari dan Al-Baqillany. Imam Al-Juwainy sempat menjadi sasaran amarah
orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin karena mengikuti ajaran Asy’ariyah yang
dianggap terlalu memberi porsi kepada akal. Karena peristiwa itu, terpaksa
beliau meninggalkan Baghdad
dan bermukim di Mekkah dan Madinah untuk memberi pelajaran. Karena itu beliau
digelari Imam Haramain (Imam dua tanah suci). Beliau mengarang beberapa kitab,
diantaranya Kitab Qowaidlu Aqaidu Ahli Sunnah Wal Jama’ah yaitu Prinsip-Prinsip
Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berdasarkan perumusan Imam Abu Hasan Asy’ari.
Dari sinilah selanjutnya aliran Asy’ariyah menjadi populer, diterima oleh
mayoritas umat Islam dan disebut dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah sampai
sekarang.
3.
Imam Syarastani (479-574 H) lahir di
Khurasan, pengarang Kitab Al-Milal wa An-Nihal, kitab terbaik tentang
firqoh-firqoh dalam theologi Islam yang sangat terkenal.
4.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H),
murid Imam Al-Juwainy. Menguasai hampir semua ilmu keislaman temasuk filsafat,
digelari Hujjatul Islam pengarang Kitab IHYA ULUMIDDIN yang sangat terkenal.
Kitab Ihya ini berisi uraian yang panjang lebar tentang fiqih, akhlak dan
penyucian jiwa (tasawuf) tanpa memasuki area ittihad dan hulul. Kitab Ihya ini
berhasil mengkompromikan dan meredam polemik perselisihan antara ahli tasawuf
dan ahli syariat.
5.
Imam Fahruddin Ar-Razi (Lahir 543 H) di
Persia. Banyak menulis kitab-kitab tentang ilmu kalam, Fiqih, Tafsir dan
lain-lain.
6.
Imam As-Sanusi (833-895 H), lahir di
Tilimsan Aljazair. Mengarang Kitab Aqidah Ahli Tauhid tentang pandangan tauhid
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Kitab Ummul Barahin, berisi sifat-sifat wajib,
mustahil dan jaiz bagi Allah dan RasulNya, isinya praktis sangat populer di
pesantren-pesantren di Indonesia.
Al-Imam Al-Maturidi
Aliran ini disandarkan kepada
perumusnya yaitu Imam Abu Manshur Al-Maturidy (wafat 333 H). Lahir di kota Maturid Samarkand.
Hidup hampir sejaman dengan Imam Abu Hasan Asy’ari, hanya saja kota tempat tinggalnya berbeda. Imam Maturidy
bermazhab Hanafi, maka tidak heran kebanyakan pengikutnya adalah orang-orang
pengikut mazhab Abu Hanifah, sedangkan Imam Asy’ari bermazhab Syafii.
Secara umum pemikiran dan
ajarannya tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hasan Asy’ari. Banyak segi
persamaannya, hanya sekitar 10 masalah saja yang berbeda, antara lain:
Masalah takdir. Asyari lebih
dekat kepada Jabariyah, sedangkan Maturidy lebih dekat kepada Qadariyah.
Persamaannya keduanya sama-sama menentang Mutazilah dan membela faham salafus
saleh berdasarkan nash Al-Quran dan Hadits.
Perbedaan lain, Asy’ari
berpendapat bahwa marifat kepada Allah berdasarkan tuntutan syara’, sedangkan
Maturidy berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal. Menurut Asy’ari sesuatu itu
baik atau buruk menurut syara’, sedangkan menurut Maturidy sesuatu itu sendiri
mempunyai sifat baik dan buruk. Al Maturidy menaruh porsi akal lebih banyak
dalam hal ma’rifat kepada Allah dan penentuan apakah sesuatu itu baik dan
buruk. Tetapi juga disadari bahwa akal semata-mata belum cukup untuk mengetahui
hukum-hukum taklifiah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
Berbeda halnya dengan Asy’ari
yang kitab-kitab karangannya mudah didapatkan sampai sekarang, seperti Kitab Maqalatul
Islamiyyin, Kitab Al-Ibanah dan Kitab Al-Luma, maka kita kesulitan mendapatkan
Kitab Maturidiyah. Yang jelas beliau bermazhab Hanafi. Pandangan-pandangan
tauhidnya berasal dari pendapat Imam Abu Hanifah.
Jadi dengan demikian, Asy’ariyah
dan Maturidiyah, keduanya sama-sama kembali ke manhaj Salafus Saleh, (Mengikuti
faham Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal) berdasarkan pada nash Al-Quran dan
Hadits, beriman kepada semua ayat-ayat mutasyabih dan sifat khabariyah tanpa
terlalu jauh menta’wilkannya. Keduanya sama-sama menentang aliran Mu’tazilah
yang ultra rasionalis-liberalis dan keduanya juga menentang aliran
Musyabbihah-Mujasimah yang ultra tekstualis-literalis sehingga jatuh pada
anthropomorpisme (Menyerupakan Allah dengan keadaan makhluk, seperti mempunyai
anggota tubuh (Jism), duduk, datang, melempar dsb). Kepada dua ulama terakhir
inilah Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (W. 333 H), permulaan
faham Aswaja sering dinisbatkan. Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari
pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat
meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an, apakah ia makhluk atau bukan,
kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salaf (terdahulu) dengan
golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
E. SIAPAKAH AHLU SUNNAH WALJAM’AH
Kepada dua ulama yaitu al-Imam Asy’ari
dan al-Imam Maturidi inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun
bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad
sebelumnya. Perkataan Ahlussunah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan
menyebutnya dengan Ahlussunah saja, atau Sunny saja dan kadang-kadang disebut
‘Asy’ari atau Asya’iroh, dikaitkan kepada guru besarnya Abu Hasan ‘Ali al
Asy’ari. Terhadap madzhab al-Asya’iroh ini ada yang barangkali tidak tahu jika
sebutan ini adalah kata lain dari Aswaja.dan ini sangat disayangkan karna bisa
menjadi faktor retaknya kesatuan golongan Ahlus Sunnah dan terpecah-pecahnya
kesatuan Jama`ah, sehingga sebagian orang yang jahil memasukkan al-Asya’iroh
dalam kelompok golongan yang sesat padahal jelas jelas mereka Aswaja karna Nama
Asya`iroh justru diambil dari nama salah satu pendiri Aswaja Abu Hasan ‘Ali al
Asy’ari.!!
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari
Imam Abu Hasan Asy’ari yaitu
keturunan Sahabat Rasulullah Abu Musa al-Asy’ari. Sejak dini Rasulallah saw
telah mensinyalir eksistensi mereka ketika turunnya sebuah ayat Alqur’an: ”Maka
kelak Allah swt akan mendatangkan suatu kaum yang Allah swt mencintai mereka dan
merekapun mencintainya” (QS. Al-Maidah: 54) bersamaan dengan turunnya ayat
tersebut, Rasulallah saw memberi isyarat dengan menunjukan jarinya kepada Abu
Musa Al-Asy’ari dan bersabda: “Wahai Abu Musa Al Asy’ari,kaum itulah pada
hakikatnya adalah pengikut -pengikutmu.” (HR. Imam Al-Hakim).
Abu Musa Al-Asy’ari Radiallahu’anhu
adalah salah seorang sahabat Rasulallah saw yang utama. Nama lengkap Beliau
adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim bin Hadhar bin Harb bin Aamir nasabnya
sampai kepada Asy’ari bin Adad. Nabi memanggilnya dengan Abdullah bin Qais. Seperti
dalam hadis yang di riwayatkan oleh Abu Musa Ra, bahwa Rasulallah mengatakan kepadanya:
“Ya Abdulah bin Qais inginkah kamu aku ajarkan satu kalimat perbendaharaan
surga? yaitu “La Haula Wala Quwata Illa Billah” .Julukan “Abu Musa” di
ambil dari nama salah satu anaknya. Ia juga salah satu pakar fiqih yang cukup
di segani di kalangan para sahabat Nabi. Ahli seni dalam membaca Al-Qur’an. Dasar
itulah yang membuat Rasulallah saw begitu dekat dengan beliau (Abu Musa Al-Asy’ari
) begitu juga dengan pengikut-pengikutnya yang bersikap loyal di kemudian hari.
Ia masuk Islam diawal masa kenabian dan termasuk dalam golongan “Assabiquuna
Ila Al-Islam”,. Abu Musa dalam masa hidup setelah Islamnya memiliki
sifat-sifat mulia. Ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan pemanah yang
tangguh bila dihadapkan pada hal-hal yang darurat. Dan ia juga seorang faqih
bijaksana yang memiliki otak jenius yang mampu dalam memecahkan beberapa macam
problema serta memberikan cahaya penerang dalam masalah fatwa-fatwa dan
pengadilan, sehingga ia disebut sebagai salah satu dari empat hakim ummat,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Sya’biy: “ Qodhotu Hazihi al-Ummah
Arba’atun: Umar, Ali, Zaid bin Tsabit wa Abu Musa”.
Beliau amat terkenal dengan
kedalamannya terhadap ilmu agama, seorang ahli ibadah yang wara’, memiliki
sifat pemalu, ahli zuhud di dunia, kuat dalam pendirian dan sifat-sifat mulia yang
lain yang disandangnya. Imam Adz-Dzahabiy mengatakan, ”Abu Musa adalah
seorang qori yang memiliki suara yang indah dan seorang terkemuka di Bashrah
didalam membaca dan memahami Al-Quran”. Rasulallah menyebut kaum yang di
pimpin Abu Musa ini dengan nama Al-Asy’ariyin.
Waktu berjalan. Realita
menunjukan bahwa kaum dan anak cucu Abu Musa Al-Asy’ari r.a hingga kini
cenderung berfokus pada kegiatan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Rata-rata
mereka mencurahkan intelektualitas pada ormas-ormas yang bergerak demi
kemaslahatan umat. Yang kemudian menjadi panutan di wilayahnya masing masing. Ketika
terjadi peperangan Siffin dalam suatu perundingan, beliau “Abu Musa r.a”
menjadi perwakilan dari pihak Sayidina Ali. Dan Amru bin Ash menjadi perwakilan
di pihak Sayidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Semoga mereka mendapat Ridhonya
Allah swt atas ijtihadnya masing-masing.
Para ulama berbeda pendapat
terhadap tahun wafatnya Abu Musa r.a. kebanyakan dari perkataan mereka, tidak
lebih dari tahun empat puluhan dari tahun Hijrah, diantaranya pendapat Imam
Ibnu Al-Asakir mengatakan: “Abu Musa meninggal di Kufah, dan dikatakan di
Mekkah pada tahun 42 hijrah, dan dikatakan pada tahun 44 hijrah, pada waktu itu
beliau berumur 63 tahun”. Sebagaimana Imam Adz-Dzahabiy juga membenarkan
bahwa beliau wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 44 Hijrah. Wallahu A’lam.
Dari sahabat Abu Musa inilah
nasab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Ali bin
Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi
Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Datuknya, Abu Musa Al-Asy’ari merupakan salah
satu sahabat Nabi terkemuka. Menurut beberapa riwayat, Abu Hasan Al-Asy’ari
lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun,
ia pindah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H / 935 M. Menurut
Imam Ibnu Asakir (Sejarawan Muslim), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang
berfaham Ahlus Sunnah dan merupakan Ahli Hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari
masih kecil. Sepeninggal Isma’il bin Ishaq, ibunda Ali bin Isma’il menikah
dengan syekh Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubba’I (Wafat 303 H), seorang
tokoh Mu’tazilah terkemuka.
Pada masa (Abad 3 H) itu banyak
ulama Mu’tazilah mengajar di Basrah, Kuffah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abasiyah yaitu Ma’mun
bin Harun Al Rasyid ( 198-227 H ), Al mu’tashim ( 218-227 H ), Al Watsiq (
227-232 H ) adalah khalifah-khalifah penganut faham Mu’tazilah atau setidaknya
adalah penyokong faham ini pada zamannya. Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada
zaman itu terjadilah apa yang di namakan “Fitnah Qur’an Makhluk” yang
mengorbankan banyak ulama yang tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah. Ahmad bin
Hambal, Imam Buwaithi adalah di antara korbannya.
Pada masa Al-Asy’ari muda,
ulama-ulama Mu’tazilah sangat banyak di Basrah, Kuffah dan Baghdad. Masa itu masa ke emasan bagi faham Mu’tazilah
karena fahamnya di sokong oleh pemerintahan. Beliau pada mulanya adalah murid
dari bapak tirinya Al-Juba’i tokoh Mu’tazilah. Setelah sekian lama mempelajari
faham Mu’tazilah, Al-Asy’ari melihat bahwa dalam faham ini banyak terdapat
kesalahan besar. Banyak yang bertentangan dengan I’tiqod dan kepercayaan
Rasulallah saw, para sahabat, Quran dan Hadist. Pada usia 40 tahun, Al-Asy’ari
bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan
Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, beliau diperingatkan oleh Rasulullah saw
agar meninggalkan faham Mu’tazilah, menurut beberapa Sumber yang penulis temui.
Bahwa menikahnya ibunda Al-Asy’ari dengan Al-Juba’i dan belajarnya Al-Asy’ari
muda kepada Al-Juba’i adalah dalam rangka mempelajari ajaran ini sebagai bekal
untuk melawannya di kemudian hari (Wallahu'alam). Terbukti di kemudian hari
Al-Asy’ari berhasil menghujjah dan mengkanvaskan Al-Juba’i dalam perdebatan
yang masyhur.
Pada suatu hari beliau naik
kemimbar di Masjid Bashrah dan berpidato di antara pidato beliau: “Saudara-saudara
kaum muslimin yang terhormat! Siapa yang sudah mengetahui saya baiklah, tetapi
bagi yang belum”. Saya adalah Abu Hasan Ali Al-Asy’ari anak dari Ismail bin Abi
Basyar. Dulu saya berpendapat bahwa Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa di
lihat dengan mata kepala di akhirat dan manusia bisa menciptakan perbuatannya
sendiri serupa dengan kaum Mu’tazilah. Sekarang saya katakana, saya telah
taubat dari faham Mu’tazilah dan saya lemparkan I’tiqod Mu’tazilah itu sebagai
mana saya lemparkan baju saya ini (Ketika itu di bukanya bajunya dan di
lemparkan)”. Sejak itu Al-Asy‘ari berjuang melawan kaum Mu’tazilah dengan
lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum Mu’tazilah dimana-mana merumuskan
dan membuat kitab-kitab I’tiqod kaum Ahlu Sunah Wal Jama’ah.
Maka pengikut Imam Asy’ari adalah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Mansyur Al-Maturiddi
Abu Mansyur al-Maturidi mempunyai
nama lengkap adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Samarqandi Al-Maturidi
Al-Hanafi. Beliau lahir di Maturrid, sebuah kota
kecil di Samarkand.
Nama Al-Maturridi nisbatkan dari dari tempat kelahirannya Maturrid. Wafat tahun
333 H, 9 tahun setelah wafatnya Al-Imam Asy’ari. Tidak ada data yang
menerangkan bahwa kedua imam ini pernah bertemu walaupun hidup dalam satu
zaman, Imam Asy’ari di Bashrah-Irak dan Imam Maturridi di Maturrid-Samarkand-Rusia.
Imam Maturridi lebih dekat kepada Imam Hanafi dan Asy’ari kepada Imam Syafi’i, maka
dalam masalah fiqih kedua imam tersebut terdapat perbedaan dalam beberapa segi
walaupun tidak mendasar.
Kedua Imam ini terdapat banyak
persamaan yang mendasar dalam masalah Aqidah, dan tersebut dalam Kitab “Ihtihaf
Sadatul Muttaqin” karya "Al-Hafidz Sayyid Murtadha al-Husaini az-Zabidi"
yaitu kitab syarah dari “Ihya Ulumudin” karya Imam al-Ghozali, pada zilid II
hal 6. dijelaskan:
Dalam kancah sejarah Abu Hasan
Al-Asy’ari lebih di kenal daripada Abu Mansur Al Maturridi. Padahal hakikatnya
baik Al-Asy’ari maupun Al-Maturidi merupakan dua pembesar Ahli Sunnah Wal
Jamaah. Ketidak populeran Al Maturidi dibanding dengan Al Asy’ari dipengaruhi
oleh beberapa hal, diantaranya:
1.
Para Sejarawan tidak mencantumkan pada
tarajum-tarajum karangannya. Diantaranya yaitu Ibnu Al-Nadim (379 H/987M) yang
wafat 50 tahun setelah wafatnya Al-Maturidy. Padahal ia mencantum Imam At-tahawi
dan Imam Al-Asy’ari. Demikian pula sejarawan yang lain seperti Ibnu Kholikan,
Ibnu Al ‘Amad, Assyafadi, Ibnu Khaldun pun tidak mencantumkannya dalam Kitab Muqoddimahnya
dalam Ilmu Kalam. Begitu pula Imam Jalaludin As-Suyuti tidak mencantumkanya
dalam Kitab Thobaqot al-Mufassirin, padahal Al Maturridi disamping seorang
mutakalim dia juga seorang mufasir.
2.
Faktor geografis. Sebagaimana kita
ketahui bahwasanya Al-Maturridi hidup di Samarkan yang jauh dari Irak yang saat
itu merupakan pusat perkembangan Islam dan disaat yang sama Al-Asy’ari mulai
memperkenalkan ajaran-ajarannya disana.
Asya’irah dan Maturidiyah merupakan dua teologi Islam yang legendaris yang
masih eksis hingga saat ini, yang kita kenal dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Aliran Maturridiah banyak dianut umat Islam yang bermadzhab Hanafi sedangkan
Asy’ariyah banyak dipakai oleh umat Islam bermadzhaf syafi'i .
Maka pengikut Imam al-Maturidi
adalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah.
Adapun Pokok-pokok Pemikiran
Dua Imam ini.
Pokok-pokok pikiran Imam Al-Asy’ari:
a.
Masalah Iman: Tashdiq di dalam hati
di ikuti dengan perkataan dan di buktikan dengan perbuatan.
b.
Qodlo dan qodhar dalam hubungannya
dengan perbuatan manusia:
Di rumuskan dalam bentuk pertanyaan: Apakah perbuatan manusia di ujudkan oleh
Tuhan atau oleh Manusia itu sendiri: Yaitu qodlo sifatnya qodim yaitu kehendak
yang Azali,sedangkan Qodhar sifatnya adalah hudus/baru yaitu wujud pekerjaan
manusia itu. Dengan kata lain terwujudnya perbuatan manusia adalah atas Qudrat
dan Iradatnya Allah Ta,ala.
c.
Sifat dan dzat Allah Ta’ala: Imam
Asy’ari menetapkan adanya sifat Allah Ta’ala sebagaimana yang tercantum dalam
Alqur’an dan Sifat Allah bukan dzat Allah. Dzat Allah adalah tidak butuh kepada
Dzat lain dan tidak butuh kepada yang menjadikan,sifat Allah adalah sifat yang
qodim.
Pokok-pokok pemikiran Imam Al
Maturridi:
a.
Masalah Iman: Iman adalah ikrar
dengan lisan dan tashdiq di dalam hati,serta ikrar itu adalah bagian dari iman.
b.
Qodlo dan qodhar dalam hubungannya
dengan perbuatan manusia:
Kemauan manusia itu sebenarnya adalah kemauan Allah,akan tetapi perbuatan
manusia itu tidak selamanya sesuai dengan kehendak Tuhan,sebab dia selalu
menghendaki yang baik,bukan yang tidak baik.dan ini adalah prosedur akal saja
sebab baik buruk adalah semua dari Qudrat dan iradatnya Allah Ta’ala.
c.
Tentang sifat tuhan: Sifat tuhan
adalah sifatnya tidak perlu di permasalahkan lagi.
Dikarena dua ulama ini adalah
mempunyai kedua pikiran yang sama yang mengikuti Rosulullah maka dua ulama ini
sebagai representasi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebagaimana dua ulama ini diakui
sebagai ulama yang telah merumuskan ilmu Ushuluddin dan mengumpulkan pendapat
ulama salaf menjadi sebuah Kosensus dan kesepakatan (Ijma’) ulama dalam satu
prisip Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Pendapat Penyatuan Dua Imam
yaitu Imam Asy’ari dan al-Maturidi
Sebagaimana pendapat para ulama
bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti Imam Asy’ari
dan Imam al-Maturidi. Diantaranya:
Berkata Al-Hafidz Sayyid Murtadha
az-Zabidi (W. 1205 H), pengarang Kitab “Ittihof Sadaatul Muttaqin”, yaitu kitab
yang mensyarah kitab “Ihya Ulumuddin”, karangan Imam Al-Ghozali :
إذَا
أطلق أهلُ السنة والجَماعة فالمراد بِهِم الأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ
Artinya: “Apabila disebut
“Ahlussunah Wal Jama’ah” maka yang dimaksudkan dengan ucapan itu ialah paham
atau fatwa-fatwa yang disiarkan oleh Imam Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi”.
(Kitab I’ithof jilid II, halaman 6).
“Apabila disebut nama
Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’iroh (Para pengikut faham
Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (Para
pengikut faham Abu Mansyur al-Maturidi” (Kitab Ithof Sadat al-Muttaqin,
Muhammad Az-Zabidi, Juz 2, hal. 6.).
“Adapun hukumnya (Mempelajari
ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua
ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan
(Nama) Ahlus Sunnah sehingga dijuluki dengan Asya’iroh (Pengikut faham Abul
Hasan al-Asy’ari)”. (Kitab Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrowi
al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut,
1415, juz 1, hal. 38).
“Begitu pula menurut Ahlus Sunnah
dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi”. (Kitab
Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103).
“Dan Ahlul-Haqq (Orang-orang
yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlus Sunnah Asya’iroh
dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas
sunnah Rosulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya
dua orang syeikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur
al-Maturidi”. (Kitab Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar
El-Fikr, Beirut,
1412, Juz 1, hal. 105).
“Dan yang dimaksud dengan ulama
adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan
al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi rodhiyallaahu ‘anhumaa (Semoga Allah
ridho kepada keduanya)”. (Kitab Hasyiyah At-Thahthowi ‘ala Maroqi al-Falah,
Ahmad At-Thahthowi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1,
hal. 4)
Didalam Kitab Mafahim Yajibu an
Tushohhah Sayyid syaikh Muhammad alwi al maliki alhasani al makki diterangkan: “Al-Asya’irah
adalah mereka para imam simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu
mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan semua orang sepakat atas
keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama
Ahlussunnah yang menentang kesewenang-wenangan Mu’tazilah. Menurut Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, al-Asya’irah digambarkan dalam kitab al-Fataawaa,
jilid 4 sebagai berikut: “Para ulama
adalah pembela ilmu agama dan al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama
(ushuluddin)”. Al-Asya’irah (penganut madzhab al-Asy’ari) terdiri dari kelompok
para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti: Syaikhul Islam Ahmad
ibn Hajar al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi sebagai gurunya para ahli
hadits, penyusun kitab Fathu al-Bari ‘ala Syarhi al-Bukhaari. Syaikhul Ulamai
Ahlissunnah, al-Imam an-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun
banyak kitab populer. Syaikhul Mufassirin al-Imam al-Qurthubi penyusun tafsir
al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an. Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami, penyusun
kitab az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba’ir. Syaikhul Fiqh, al-Hujjah (argumentasi)
dan ats-Tsabat (tokoh ulama yang dipercaya) Zakariya al-Anshari. Al-Imam Abu
Bakar al-Baaqilani. Al-Imam al-Qashthalani. Al-Imam an-Nasafi. Al-Imam
asy-Syarbini. Abu Hayyan an-Nahwi, penyusun tafsir al-Bahru al-Muhith. Al-Imam
Ibnu Juza, penyusun at-Tashiil fi ‘Uluumi at-Tanzil Dan lain sebagainya. Mereka
semuanya termasuk a’immah (Para imam)
asy’ariyyah. Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli hadits,
tafsir dan fiqh dari kalangan al-Asya’irah, maka keadaan tidak akan
memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai nama para
ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah
salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa
dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni
mereka yang telah mengabdi kepada syari’at Sayyidul Mursaliin dari kalangan
ulama’”. (Dapat dilihat secara lengkap pada kitab Mafahim Yajibu an
Tushohhah dan Kitab al-’Allaamah asy-syaich Muhammad ‘Ali ash-Shobuni “Mas’alat
al-Asyaa’irah min Buhuts Thawiilah wa Muhimmah”)
Keistimewaan Aswaja Maturidi atau
juga asya`iroh atau juga sunni dalam menegakkan pahamnya ialah, dengan
mengutamakan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits dan juga dengan pertimbangan
akal dan pikiran, tidak seperti kaum Mu’tazilah yang mendasarkan pikirannya
kepada akal dan falsafah yang berasal dari Yunani dalam membicarakan Ushuluddin
dan pula tidak seperti kaum Mujassimah (kaum yang menyerupakan Tuhan dengan
makhluq) yang memegang arti lahir dari Qur’an dan Hadits, sehingga sampai
mengatakan bahwa Tuhan bertangan, Tuhan bermuka, Tuhan duduk-duduk diatas
‘arsy, dan lain-lain sebagainya. Golongan ini adalah para pemimpin ulama yang
membawa petunjuk dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian
timur dan barat dunia dan disepakati oleh manusia sepakat atas keutamaan,
keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama
Ahlussunnah berwibawa tinggi yang berdiri teguh menentang kecongkaan dan
kesombongan golongan Mu’tazilah dan aliran sesat dan menyimpang lainnya hingga
hari ini. Dan begitu banyak kitab-kitab yang menyatakan hal ini hingga hari
ini.
Demikian. Wallahua’lam.