Bismillahirrohmaanirrohiim
BIOGRAFI AL-IMAM AL-GHAZALI
Berbicara tentang seorang ulama
bernama al-Imam al-Ghazali tentu bagi kaum Muslimin adalah hal yang tidak asing
lagi baginya, karena karya-karya dari buah pemikiran dan ilmunya telah banyak
sampai kepada kita umat Muslim pada zaman ini. Akan tetapi disebabkan karena
tidak benar-benar mengenal beliau yang akhirnya seorang pencari ilmu pada zaman
ini dengan mudahnya berkomentar miring yang tidak pantas disandangkan kepada
beliau. Padahal al-Imam al-Ghazali merupakan ulama yang diakui oleh para ulama
lainnya, baik itu pada zaman beliau maupun hingga abad ini. Berkat kegigihan
dan ketekunan beliau dalam mencari ilmu dan kebenaran serta kecerdasan beliau
pula, Al-Imam Al-Ghazali diakui dan merupakan ulama yang bergelar Hujjatul
Islam (Argumentator Islam) selain gelar-gelar lainnya yang begitu banyak dan
pujian-pujian para ulama, karena jasa beliau yang sangat besar dalam menjaga
agama Islam dari pengaruh aliran-aliran bid’ah dan aliran-aliran Filsafat
Rasionalisme Yunani.
Al-Imam al-Ghazali bergelar
Hujjatul Islam karena beliau hafal lebih dari 300.000 hadits berikut sanad dan
matannya, selain juga beliau sebagai argumentator ulung pada zamannya dalam
menjaga agama Islam dari pengaruh aliran sesat dan aliran diluar Islam. Al-Imam
Al-Ghazali dipanuti oleh ratusan para hujjatul islam dan para Al hafidh dari
para ulama lain. Al hafidh adalah gelar ulama-ulama yang sudah hafal 100.000
hadits dengan sanad dan matannya, maka al-Imam al-Ghazali diakui oleh para ulama
lain dalam keilmuan dan pemikirannya. Beliau memiliki berbagai kemampuan yang
mumpuni di berbagai bidang pengetahuan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila
banyak sebutan yang dialamatkan terhadapnya. Mulai dari teolog, fuqoha, filosof
sampai sebutan sufi. Banyaknya sebutan yang dialamatkan terhadapnya
mencerminkan wawasan keilmuannya yang begitu luas dan dalam. Kita bisa melihat
khasanah keilmuwan al-Imam al-Ghazali dari karya-karyanya yang sangat banyak
yang masih tersimpan hingga sekarang. Berikut ini riwayat hidup al-Imam
Al-Ghazali:
BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI
Al-Imam al-Ghazali bernama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Beliau
dilahirkan pada tahun 450 H-505 H/1058-1111 M di Gazhalah, suatu kota yang
terletak di dekat daerah Bandar Thusiy, sebuah kota di wilayah Khurasan Persia
(Iran), bertepatan dengan tahun wafatnya al-Mawardi, seorang pengacara (Grand
Judge) di ostawa.
Beliau dipanggil (Kuniyah) dengan
nama Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Beliau bergelar
Hujjatul Islam Zain Ad-Din ath-Thusiy karena beliau seorang pakar ilmu fiqih
dari aliran madzhab dan ilmu-ilmu lain yang memumpuni setiap bidangnya. Gelar
beliau juga al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan gelar ayahnya yang bekerja
sebagai pemintal bulu kambing yaitu berkerja membuat pakaian dari bulu (wol)
dan menjualnya di pasar Thusia. Kata al-Ghazali kadang diucapkan al-Ghazzali, sebutan
al-Ghazali diambil dari kata ghazzal (Tukang pemintal benang), hal itu
disebabkan terdapat kesesuaian dengan perkerjaan ayahnya, yakni memintal benang
wol. Sedangkan al-Ghazali diambil dari kata ghazalah, nama kampung tempat
kelahiran al-Ghazali. Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab
Syafi'i. Namanya dalam Bahasa Latin
dikenal dengan sebutan Al-Gazel, dan sebutan inilah yang biasa digunakan oleh
orang-orang Barat (Orientalis) terhadapnya. Maka jika nama beliau hendak
digabungkan dengan gelar dan nama beliau adalah Hujjatul Islam Zain Ad-Din Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali ath-Thusiy asy-Syafi'i.
Beliau berasal dari keluarga yang
miskin dan sangat sederhana dan ta’at menjalankan agama. Al-Ghazali mempunyai
seorang saudara. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan
menjualnya sendiri di kota
itu. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang
alim dan saleh. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya
agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya
setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali.
Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah
mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama,
ahli fikir, filosof, teolog, ahli hukum, penganut madzhab Imam Syafi’i, dan
ahli tasawuf. Ia juga seorang tokoh sufi berpengaruh Islam yang terkemuka yang
banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Meskipun dia
dianggap sebagai tokoh sufi, namun bukan berarti dia tidak melakukan kritikan
terhadap sifat-sifat orang sufi yang melampui batas. Dia sangat kritis terhadap
orang-orang sufi yang mempercayai teori inkarnasi dan penyatuan diri dengan
Tuhan. Baginya, orang-orang seperti ini menjauhkan logika dan akal, serta tidak
mengontrol.
Sebagaimana ulama pada masanya,
kesungguhan al-Ghazali dalam hal ilmu telah terlihat semenjak kecil. Di masa
mudanya dia belajar di Naisabur, juga di Khurasan. Dia belajar fiqih kepada Syekh
Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani Al-Thusi. Ketika berumur 25 tahun, Al-Ghazali
berguru kepada Ali Nashr Al-Ismail, seorang ulama terkenal di Thusiy. Kemudian
ia menjadi murid al Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di Madrasah al-Nizhamiyah
Naisabur. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah
Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad.
Imam Al-Ghazali meninggal dunia
pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111
Masehi di Thusiy. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
RIWAYAT PERJALANAN DAN MENUNTUT
ILMU AL-IMAM AL-GHAZALI
Dihikayahkan bahwa orang tuanya
adalah seorang yang shaleh yang tidak mau makan kecuali dari hasil tangannya
sendiri. Ayahnya bekerja sebagai pemintal bulu domba dan menjualnya di tokonya
sendiri. Beliau berasal dari keluarga yang miskin dan sangat sederhana serta
ta’at menjalankan agama. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama
Ahmad. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi
orang alim dan shaleh. Ketika menjelang meninggal, ayahnya berpesan kepada
sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya
setuntas-tuntasnya. Sebagaimana ayahnya berpesan tentang dia dan saudara laki-lakinya
yang bernama Ahmad kepada seorang sahabatnya yang merupakan seorang Ahli Tashawwuf
dan suka melakukan kebajikan. Dimana ayahnya berkata kepada temannya: ”Sesungguhya
aku sangatlah kesulitan tentang pelajaran menulis dan aku akan sangat senang
untuk menemukan apa yang terlewat dariku di dalam kedua orang anakku ini. Dan
tidak mengapa bagimu menghabiskan semua yang aku tinggalkan untuk mereka berdua
dalam hal ini.”
Ketika dia (Ayah Imam al-Ghazali)
meninggal dunia, sahabatnya segera
melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan,
maka mulailah sang Sufi mengajar mereka sampai habis warisan yang secuil yang
di tinggalkan oleh bapak mereka berdua. Setelah harta pusaka peninggalan ayah
mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya. Maka
sang Sufi berkata kepada mereka: ”Ketahuilah oleh kalian berdua bahwa
sesungguhnya aku telah benar-benar membelanjakan apa yang menjadi hak kalian
berdua untuk kalian berdua. Aku hanya lelaki miskin. Tidak ada hartaku yang
dapat membantu kalian berdua. Hendaklah kalian berlindung kepada sebuah
madrasah. Karena sesungguhnya kalian berdua ialah penuntut ilmu. Sehingga
kalian akan mendapatkan kekuatan yang akan membantu kalian di atas waktu
kalian.” Kemudian mereka berdua melakukan hal itu, dan itulah yang menjadi
sebab kebahagiaan dan tingginya tingkatan mereka. Al-Imam Al-Ghazali menceritakan
hal itu dngan mengatakan: ”Kami menuntut ilmu karena selain Allah S.W.T. lalu
aku menolak. Agar hal itu hanya karena Allah S.W.T.”
Diceritakan bahwa orang tua
Al-Ghazali sering mengunjungi para ahli fiqih, duduk-duduk bersama mereka, meluangkan
diri untuk melayani mereka, menemukan kebaikan dalam diri mereka dan
membelanjakan apa yang mungkin baginya untuk mereka. Jika dia mendengar ucapan
mereka dia menangis dan tertunduk. Dia berharap Agar dia diberi rizki berupa
seorang anak yang dapat memberi tuntunan dan menjadikannya seorang pakar ilmu
fiqih. Maka Allah SWT mengabulkan do’anya. Adapun Imam abu hamid merupakan
seorang yang paling ahli dalam ilmu fiqih dimasanya dan merupakan pemuka orang
segenerasinya. Adapun Imam ahmad merupakan seorang pemberi tuntunan yang dapat
melunakkan gendang telinga ketika mendengarkan nasehatnya dan menggetarkan hati
sanubari para yang hadir dalam pertemuan dzikirnya.
Dimasa kecil Al-Ghazali dikenal
sebagai seorang anak yang cinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari
kebenaran yang hakiki sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka
nestapa dan sengsara. Dan di masa kanak-kanak, Imam Ghazali belajar mengaji
sebagian kecil dari ilmu fiqih kepada al-Imam Ahmad Muhammad Ar-Radzikaniy di
Thusiy, kemudian belajar kepada al-Imam Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan
akhirnya kembali ke Thusiy lagi. Kemudian setelah itu dia menuju Naisabur untuk
belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya dan menetap dikediaman
al-Imam Al-Haramain Dhiyauddin Abu Al-Ma’Aliy Abdul Malik bin Syaikh Abu
Muhammad Al-Juwainiy (W. 478 H atau 1085 M), Dari beliau inilah Imam Ghazali
belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu pengetahuan agama lainnya.
Dimana Imam al-Ghazali berusaha
dengan tekun dan kesungguhan hati sampai dia betul-betul menguasai bidang Mazhab.Khilafiyah,
Perdebatan Manthiq, membaca Ilmu Hikmah dan Filsafat, mengambil hikmah dari
semua itu, memahami ucapan semua pakar ilmu tersebut, memberikan sanggahan dan
menggagalkan berbagai klaim yang mereka ajukan dan untuk setiap bidang dari
berbagai ilmu pengetahuan itu, dia banyak mengarang banyak kitab, yang
mempunyai susunan tematis yang sangat menawan. Al Ghazali adalah seorang figur
yang sangat genius, pandangan luas, kuat daya hafalnya, jauh dari tipu daya, begitu
mendalam melihat suatu pengertian dan memiliki berbagai pandangan yang
betul-betul baralasan. Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup
mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga
Imam al-Juwaini sempat memberi predikat kepada beliau itu sebagai orang yang
memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan "Laut dalam nan menenggelamkan
(Bahrun Mughriq)". (Al-Ghazali itu Laut tak bertepi).
Ketika Imam Al-Haramain Al-Juwainiy
wafat pada Tahun 478 H atau 1085 M, al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju ke
istana Wazir Nidzam al-Mulk yang menjadi seorang Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk.
dimana tempat perjamuannya merupakan tempat berkumpulnya para pakar ilmu
pengetahuan. Kemudian para imam membentuk sebuah forum diskusi di kediamannya
dan disinilah tampak pandangan Imam Al-Ghazali kepada mereka, dimana mereka
juga mengetahui keutamaannya serta memberikan kekaguman dan ketakjuban di hati
sang pemilik rumah. Sehingga beliau diberikan kepadanya mandat di bidang Akademis
Madrasah dan Nidhamiyah di Baghdad pada Tahun 484 H. Karena kehebatan ilmunya
itulah, akhirnya pada Tahun 484 atau 1091 M. Nidzam al-Mulk mengangkat Imam al-Ghazali
sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad. Hadirlah Imam
al-Ghazali dengan membawa perbaikan yang sangat besar. Ia pun memiliki kharisma
yang sangat Besar. Bahkan mengalahkan kharisma Para Pejabat dan Menteri. Manusiapun
kagum akan bagusnya perkataannya, sempurnanya keutamaannya, fasihnya lisan, kajiannya
yang mendalam, isyarahnya yang lembut, dan merekapun menyukainya. Dia pun
menunaikan tugas mengajarkan ilmu dan menyebarkannya dengan berbagai pengajian,
fatwa dalam bentuk kedudukan yang luhur, tingkatan yang tinggi, kata-kata yang
enak di dengar, nama yang terkenal membuat berbagai contoh dengan semua itu, dan
keaktifan sehingga menjadikan dia lebih utama ketimbang semua kedudukan yang
ada.
Di tengah-tengah kesibukannya
mengajar di Baghdad, beliau masih sempat mengarang sejumlah Kitab seperti Al-Basith,
Al-Wasith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Ilm al-Jadal (Ilmu
Berdebat), Ma'khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al-Ma'akhidz, dan
Al-Mabadi' wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf. Begitu juga di tengah-tengah
kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat
klasik seperti filsafat Yunani, sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai
aliran agama yang beraneka ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami
berbagai bidang studi ini dengan harapan agar dapat menolongnya mencapai ilmu
pengetahuan sejati yang sangat didambakan. Setelah empat tahun menjalani mandat,
beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad. Dia pun meninggalkan semua itu di
belakang punggungnya, berangkatlah dia ke Baitullah al-Haram di Makkah
al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah Haji pada Bulan Dzul Hijjah Tahun 488 H
dan dia mengangkat saudaranya Imam Ahmad sebagai penggantinya untuk mengajar di
Baghdad.
Setelah itu al-Imam al-Ghazali
memasuki kota Damaskus sekembalinya menunaikan
ibadah Haji pada Tahun 489 H. dan menetap di sana sebentar, kemudian menuju Baitul Maqdis.
Dia pun mengunjunginya beberapa waktu lalu kembali lagi ke Damaskus dan beri’tikaf
di menara sebelah barat Masjid Jami’ Umawiy dan di sanalah dia bermukim. di kota tersebut pada satu
sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “Al Ghazaliyah”, diambil
dari nama mulia itu. Pada masa itulah Imam Al-Ghazali mengarang Kitab Ihya’
Ulumuddin. Dengan kehidupan serba penuh ibadah, keadaan dalam kehidupannya
pada saat itu amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan
dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah
dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa. Dilanjutkan
pengembaraan ke berbagai padang
pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (Haram), meninggalkan
kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan
agama. Secara kebetulan suatu hari dia memasuki Madrasah al-Aminah dan menemukan
sang Kepala Madrasah berkata: ”Al-Ghazali berkata…” (Dimana sang kepala
madrasah sedang mengupas perkataan al-ghazali), maka Imam al-Ghazali khawatir
akan timbulnya kebanggaan dalam dirinya, dan dia pun kemudian meninggalkan kota Damaskus. Lalu
berkelana keberbagai negeri sehingga dia memasuki Negeri Mesir dan menuju ke Iskandariah,
bermukim disana beberapa waktu. Dikatakan bahwa dia berkeinginan untuk melanjutkan
perjalanan menghadap Sultan Yusuf bin Tasyifin (Raja Maroko), ketika dia
mendengar berita tentang keadilannya, lalu kemudian sampai pula berita tentang
kematiannya. Lalu kemudian Imam al-Ghazali melanjutkan pengembaraannya
keberbagai negeri. Lalu beliau menulis Kitab “Maqashidul Falasifah”
(Ahli-ahli falsafah) dan “Tahafutul Falasifah”(Kesesatan ahli-ahli
falsafah).
Setelah itu, al-Imam al-Ghazali
pulang ke Baghdad,
kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah di Naisabur sebentar. Hanya saja beliau
menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dahulu lagi. Setelah
menjadi guru besar dalam berbagai ilmu pengetahuan agama, sekarang tugas beliau
menjadi Imam Ahli Agama dan Tashawwuf serta penasehat spesialis dalam bidang
agama. Kitab pertama yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah Kitab Al-Munqidz min
al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah
satu buku referensi yang paling penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan
pengetahuan tentang kehidupan Imam al-Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan
sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang
nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana iman
dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat
tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan
sejati (Ilmu yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika, namun dengan cara
ilham dan mukasyafah (Terbuka hijab) menurut ajaran Tashawwuf.
Sekembalinya Imam Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi
dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang
tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota
Thus, kota
kelahirannya. Dia menjadikan sisi rumahnya sebagai Madrasah bagi para Ahli Fiqih,
mengkaji tentang kesufian dan membagi waktunya untuk berbagai tugas seperti
mengkhatamkan Al-Qur’an, berdiskusi dengan para ulama, mengkaji untuk para
penuntut ilmu, melanggengkan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya sampai dia
beralih kepada rahmat dan keridhaan Allah S.W.T.
Dia wafat di Thusiy pada Hari
Senin 14 Jumadil Akhir Tahun 505 H atau 1111 M. dalam usia 55 tahun. Abu
al-Farizi bin al-Jauzi, dalam Kitab An-Nabat Inda al-Mamat berkata: ”Berkata
Imam Ahmad (Saudara laki-laki Imam al-Ghazali): “Ketika itu Hari Senin, waktu
subuh saudara laki-lakiku Abu Hamid melakukan wudhu, lalu shalat, lalu berkata:
”Beri aku kain kafan”. Kemudian dia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan
pada kedua matanya sambil berkata: ”Dengan mendengar dan patuh untuk menghadap
sang raja”. Kemudian dia menjulurkan kedua kakinya, menghadap kiblat dan wafat
sebelum terbit terang. Semoga Allah S.W.T. mensucikan ruhnya”.
Abu al-Mudhaffar Muhammad
Abyuwardiy (Seorang pujangga bermasyhur) menggambarkan tentang dirinya dalam
berbagai syair, diantaranya: “Berlalu dan hilanglah suatu yang paling agung
sehingga aku menjadi kelaparan karenanya. Seorang yang tiada bandingannya dalam
manusia, untuk menggantikannya.”
Al-Imam al-Ghazali dimakamkan
diluar kebun Thabiran, yaitu pohon tebu di daerah Thusiy, berdekatan dengan
makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal Imam
Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh
Farancis Bacon seorang filosofi Inggeris iaitu: “Ku letakkan arwahku
dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi sepi. Namaku
akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa
hadapan”. Semoga Allah S.W.T. selalu melimpahkan rahmat kepadanya. Aamiin.
MENJELANG WAFAT
Menjelang wafat Imam Al-Ghazali
terus mempelajari ilmu, mengkaji ilmu dan berdiskusi di dengan para ulama,
serta mengkaji untuk para penuntut ilmu, melanggengkan shalat, puasa dan
ibadah-ibadah lainnya sampai dia beralih kepada rahmat dan keridhaan Allah
S.W.T. Berkata Imam Adz-Dzahabi: “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun
menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain
(Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat
menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits
dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri”.
Suatu hari, Imam al-Ghazali
terbangun pada dini hari dan sebagaimana biasanya melakukan shalat dan kemudian
beliau bertanya pada adiknya: “Hari apakah sekarang ini?” Adiknya pun
menjawab: “Hari Senin”. Beliau kemudian memintanya untuk mengambilkan
sajadah putihnya, lalu beliau menciumnya, menggelarnya dan kemudian berbaring
diatasnya sambil berkata lirih: “Ya Allah, hamba mematuhi perintah-Mu”, dan
beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya. Di bawah bantalnya mereka menemukan
bait-bait berikut, ditulis oleh Al-Ghazali r.a. barangkali pada malam
sebelumnya:
“Katakan pada para sahabatku,
ketika mereka melihatku, mati Menangis untukku dan berduka bagiku.
Janganlah mengira bahwa jasad
yang kau lihat ini adalah aku.
Dengan nama Allah, kukatakan
padamu, ini bukanlah aku,
Aku adalah jiwa, sedangkan ini
hanyalah seonggok daging.
Ini hanyalah rumah dan pakaian
ku sementara waktu.
Aku adalah harta karun, jimat
yang tersembunyi,
Dibentuk oleh debu, yang
menjadi singgasanaku,
Aku adalah mutiara, yang telah
meninggalkan rumahnya,
Aku adalah burung, dan badan
ini hanyalah sangkar ku.
Dan kini aku lanjut terbang
dan badan ini kutinggal sebagai kenangan.
Segala puji bagi Tuhan, yang
telah membebaskan aku.
Dan menyiapkan aku tempat di
surga tertinggi,
Hingga hari ini, aku
sebelumnya mati, meskipun hidup diantara mu.
Kini aku hidup dalam
kebenaran, dan pakaian kubur ku telah ditanggalkan.
Kini aku berbicara dengan para
malaikat diatas,
Tanpa hijab, aku bertemu muka
dengan Tuhanku.
Aku melihat Lauh Mahfuz, dan
didalamnya ku membaca. Apa yang telah, sedang dan akan terjadi.
Biarlah rumahku runtuh,
baringkan sangkarku di tanah,
Buanglah sang jimat, itu hanyalah
sebuah kenang-kenangan, tidak lebih,
Sampingkan jubahku, itu
hanyalah baju luar ku,
Letakkan semua itu dalam
kubur, biarkanlah terlupakan,
Aku telah melanjutkan
perjalananku dan kalian semua tertinggal.
Rumah kalian bukanlah tempat
ku lagi.
Janganlah berpikir bahwa mati
adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan,
Kehidupan yang melampaui semua
mimpi kita disini,
Di kehidupan ini, kita
diberikan tidur,
Kematian adalah tidur, tidur
yang diperpanjang.
Janganlah takut ketika mati
itu mendekat,
Itu hanyalah keberangkatan
menuju rumah yang terberkati ini.
Ingatlah akan ampunan dan
cinta Tuhanmu,
Bersyukurlah pada KaruniaNya
dan datanglah tanpa takut.
Aku yang sekarang ini, kau pun
dapat menjadi
Karena aku tahu kau dan aku
adalah sama
Jiwa-jiwa yang datang dari
Tuhannya
Badan badan yang berasal sama
Baik atapun jahat, semua
adalah milik kita
Aku sampaikan pada kalian
sekarang pesan yang menggembirakan
Semoga kedamaian dan
kegembiraan Allah menjadi milikmu selamanya”.
Abu al-Farizi bin al-Jauzi, dalam
Kitab An-Nabat Inda al-Mamat berkata: ”Berkata Imam Ahmad (Saudara laki-laki
Imam Ghazali): “Ketika itu Hari Senin, waktu subuh saudara laki-lakiku Abu Hamid
melakukan wudhu, lalu shalat,lalu berkata: ”Beri aku kain kafan.” kemudian dia
mengambil dan menciumnya lalu meletakkan pada kedua matanya sambil berkata:
”dengan mendengar dan patuh untuk menghadap sang raja.” kemudian dia
menjulurkan kedua kakinya, menghadap kiblat dan wafat sebelum terbit terang.
Semoga Allah S.W.T. mensucikan ruhnya”
KARYA-KARYA AL-IMAM AL-GHAZALI
Karya-karya Al-Imam al-Ghazali
selama masa hidup sangatlah banyak bahkan karya-karya itu berjumlah hamper 100
buah karya. Dintaranya:
Pertama, dalam masalah Ushuluddin
dan Aqidah:
Kitab Arba’in Fi Ushuliddin.
Merupakan juz kedua dari Kitab beliau Jawahirul Qur’an. Kitab Qawa’idul Aqa’id,
yang beliau satukan dengan Kitab Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama. Kitab
Al-Iqtishad Fil I’tiqad. Kitab Tahafut Al-Falasifah yaitu berisi bantahan
beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah Mazhab
Asy’ariyah. Kitab Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa
Zanadiqah.
Kedua, dalam Ilmu Ushul, Fiqih,
Filsafat, Manthiq dan Tashawwuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak.
Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
Kitab Al-Mustashfa Min Ilmil
Ushul, Kitab Mahakun Nadzar, Kitab Mi’yarul Ilmi yaitu Kedua kitab ini
berbicara tentang Mantiq. Kitab Ma’ariful Aqliyah. Kitab Misykatul Anwar. Kitab
Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna. Kitab Mizanul Amal. Kitab Al
Madhmun Bihi Ala
Ghairi Ahlihi. Kitab Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah. Kitab Ma’arijul
Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi. Kitab Qanun At-Ta’wil. Kitab Fadhaih
Al-Bathiniyah dan Al-Qisthas Al-Mustaqim yaitu edua kitab ini merupakan
bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Kitab Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab
Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, Kitab Ar Risalah Al-Laduniyah. Kitab
Ihya’ Ulumuddin. Kitab Al-Munqidz Minad Dhalalah yaitu tulisan beliau yang
banyak menjelaskan sisi biografinya. Kitab Al-Wasith. Kitab Al-Basith. Kitab
Al-Wajiz. Kitab Al-Khulasha.
KEPRIBADIAN DAN PENGARUH AL-IMAM
AL-GHAZALI
Kepribadian dan pengaruh Imam
al-Ghazali dalam bidang keilmuan dalam memberikan khazanah ilmu Agama Islam
dikarenakan beliau mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Beliau
digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Beliau sangat dihormati di
dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam.
Beliau berjaya mengusai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat
mencintai ilmu pengetahuan. Beliau juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup
untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi
mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengambaraan, beliau telah
mempelajari karya Ahli Sufi ternama seperti Imam Al-Junaid Sabili dan Imam Bayazid
Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama sepuluh tahun. Beliau telah
mengunjungi tempat-tempat suci yang bertaburan di daerah Islam yang luas
seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem,
dan Mesir. Beliau terkenal sebagai Ahli Filsafat Islam yang telah mengharumkan
nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak
kecil, berliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan
beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela
yang lain. Beliau sangat kuat beribadat, wara’, zuhud, dan tidak gemar kepada
kemewahan, kepalsuan. Kemegahan, dan kepura-puraan dan mencari sesuatu untuk
mendapat keridhaan dari Allah SWT. Beliau mempunyai keahlian dalam berbagai
bidang ilmu terutamanya Fiqih, Ushul Fiqih, dan Siyasah Syariah. Oleh karena
itu, beliau disebut sebagai seorang Faqih.
Pengaruh filsafat dalam diri
beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap
Filsafat, seperti Kitab At-Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Al-Ghazali
tidaklah menolak filsafat dan tidak pula mengekang kebebasan berfikir (Jjtihad).
Hal ini dapat dibuktikan dengan sikapnya yang menggabungkan filsafat dengan
Ilmu Kalam. Menggabungkan prinsip-prinsip filsafat dengan mistis dalam
teologinya. Dalam hal kebebasan berfikir (Ijtihad), Imam al-Ghazali termasuk
orang yang mendukungnya. Bahkan dia diberi gelar sebagai kelompok
al-Mushawibah, kelompok yang selalu membenarkan upaya ijtihad. Informasi ini
sekaligus menjawab tuduhan yang menyatakan al-Ghazali sebagai “Penggagas
Tertutupnya Ijtihad”.
Al-Imam al-Ghazali meninggalkan banyak
karya yang tidak dapat dilupakan oleh ummat Muslimin khususnya dan dunia
umumnya. Dengan karangan-karangan yang berjumlah hampir 100 buah banyaknya. Diantaranya
kitab Ihya yang terisi dari pada empat jilid besar. Kitab Ihya amatlah terkenal
dirata-rata dunia. Di Eropa beliau mendapat perhatian besar sekali dan telah
dialih bahasa ke dalam beberapa bahasa modern. Dalam dunia Kristian telah lahir
pula kemudian Thomas A Kempis (1379-1471 M) yang mengikuti pribadi Imam Al-Ghazali
dalam dunia Islam berhubung dengan karangannya “De Imitation Christi” yang
sifatnya mendekati Kitab Ihya’ Ulumuddin, tetapi dengan pendekatan dari
pendidikan ilmu Kristian.
Diantara karangan Imam al-Ghazali
yang banyak itu, terdapat dua buah yang kurang dikenali dinegara kita, akan
tetapi sangat terkenal didunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena
antara ahli falsafah yaitu Kitab “Maqashidul falasifah” (Ahli-ahli falsafah)
dan “Tahafutul falasifah”(Kesesatan ahli-ahli falsafah). Kitab yang pertama
berisi ringkasan dari bermacam-macam Ilmu Falsafah dan Mantik, Metafisika, dan
Fisika. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa
Latin di akhir abad ke 12 M. Kitab yang kedua memberi kritikan yang tajam atas
system Falsafah yang telah diterangkan satu persatu dalam kitab yang pertama
tadi. Imam Al-Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa
maksudnya menulis kitab yang pertama tadi adalah mengumpul dahulu bahan-bahan
untuk para pembaca, dan yang kemudiannya akan dikritiknya satu persatu dalam
kitab yang kedua.
Beberapa puluh tahun kemudia
lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu Rusyd,
digelarkan Filosof Cordova(1126-1198). Dia membantah akan pendirian Imam Al-Ghazali
dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya
“Tahafutu-tahafutil falasifah”(Kesesatan buku Tahafutul falasifah Al-Ghazali). Dalam
buku ini Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalahan pahaman Imam Al-Ghazali tentang
pergertian apa yang dinamakan falsafah dan beberapa salah fahamnya tentang
pokok-pokok pelajaran falsafah. Namun sekalipun Imam al-Ghazali dibantah akan
tetapi tidak menjadikan alas an kebenaran Ibnu Rusyd karena tingkatan Imam
al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan diakui oleh para Imam dan ulama. Demikianlah
telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan
menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya
bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya
masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Disamping
kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Imam Al Ghazali, dilontarkannya Kitab
Tahafutul Falasifah ketengah-tengah umat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga
karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi kekayaan bahasa Imam Al-Ghazali.
Maka pada akhirnya dalam peperangan alam fikiran ini, Imam Al-Ghazali tampil ke
tengah gelanggang pemenang.
Sebagai filosofi, Imam Al-Ghazali
mengikut aliran falsafah yang boleh dinamakan “Madzhab Hissiyat” yaitu dapat
dikira-kira sama arti dengan Mazhab Perasaan. Sebagaimana filosof Inggris David
Hume (1711-1776 M) yang mengemukakan bahwa perasaan menentang aliran
rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul di abad ke 18 M, yang
semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia. Imam Al-Ghazali
telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama 700 tahun terlebih dahulu dari
David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan itu boleh keliru juga akan tetapi akal
manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak dapat
mencapai kebenaran sesempurnanya dengan sendiri saja. Dan tidak mungkin dapat
dibiarkan bergerak dengan semau-maunya saja. Lalu akhirnya Imam Al-Ghazali kembali
kepada apa yang dinamakannya “Dharuriat” atau aksioma sebagai hakim dari akal
dan perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah SWT. Imam Al-Ghazali
juga tidak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan
berbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tidak
kurang juga ia membentangkan Ilmu Mantic dan menyusun Ilmu Kalam yang tahan uji
dibandingkan dengan karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan
ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan
hatinya serta khusyuk akan kata-kata “Wallahhu a’lam” artinya “Allah yang Maha
Tahu”.
Pada zaman Imam Al-Ghazali, masih
berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih. Maka salah satu dari
usaha Imam Al-Ghazali juga ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan
itu. Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Imam Al-Ghazali mendapat teman
sealiran dan sefahaman, disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang
tidak sefahaman, diantaranya Ibnu Rusyd, Ibnu Thaimiyah, Ibnu Qayyim dan
lain-lain.
Didunia Barat, Imam Al-Ghazali mendapat
perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosofi. Diantaranya Renan,
Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain. Seorang ahli ketimuran Inggris bernama
Dr. Zwemmer pernah memasukkan Imam Al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat
orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah Saw sampai kepada zaman
kita sekarang, yaitu pada urutan ke empat setelah Nabi Besar Muhammad s.a.w
sendiri, Imam Al Bukhari yaitu ulama hadis yang terbesar, Imam Al Asy’ariy
yaitu ulama tauhid yang termasyhur dan barulah Imam Al-Ghazali yaitu pengarang
Ihya yang terkenal. Maka kemasyuran Imam al-Ghazali dalam bidang keilmuannya,
beliau dikenal di dunia Barat dengan sebutan Al-Gazel.
Dengan demikian Imam al-Ghazali
adalah salah satu ulama Islam yang berpengaruh didunia Islam dan dunia Barat.
Karya-karya dan keilmuannya menjadikan sebab beliau diakui dan menjadi sumber
khazanah keilmuan dunia hingga hari ini.
Sumber:
Kitab Ihya’ Ulumuddin
Kitab Ats-Tsabat Indal Mamat
Kitab Siyar A’lam Nubala 6
Kitab Thabaqat Asy-Syafi’I 6
Kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal
Asya’irah
Tasawuf antara al –Ghazali dan
Ibn Taimiyah
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam
Pengantar Filsafat Islam
Filsafat Islam
Antara Agama dan Filsafat
Perkembangan pemikiran Falsafi
Dalam Islam.
Demikian. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar