3 Desember 2013

QUNUT SUBUH GERBANG PERSAUDARAAN MUSLIM

Oleh: Pray. Ksn
Bismillahirrohmaanirrohiim.



Persaudaraan Lebih Penting Daripada Perpecahan-
Sikap Kita Menyikapi
Banyak dari orang Muslim ketika mendengar kata Qunut, seketika itu alergi seakan-akan Qunut tidak diajarkan oleh syari’at Islam. Padahal Qunut dilakukan oleh Rosulullah saw, para sahabat, para tabi’in dan mulailah ada perbedaan pendapat setelah itu hingga zaman sekarang. Sekalipun ada perbedaan pendapat dari para ulama dalam menyikapi Qunut, namun semua ulama tidak menghilangkannya atau membid’ahkannya. Serta para ulama tidak saling tuding pelaku Qunut adalah sesat, keluar dari Islam, perbuatan yang salah atau dinisbatkan sebagai Ahlul bid’ah Wa Dholal. Para Ulama tidak saling menuding dan menghukumi para ulama yang lain yang berbeda pendapat diantaranya dengan ungkapan demikian buruknya karena yang berpendapat lebih serius dalam hal Qunut adalah Al-Imam Syafi’I dan ulama-ulama yang senada pendapat dengannya. Penudingan dan gelar buruk itu tidak pernah ada pada masa itu hingga masa Rosulullah dan masa berdekatan dengan para ulama itu sendiri terkecuali setelah jauh dari masa para Imam yang telah kita ketahui.

Apakah kita hendak menyatakan para sahabat, para tabi’in dan para imam yang melakukan Qunut Subuh adalah ahlul bid’ah lagi sesat?. Atau juga kita hendak menyatakan mereka salah karena hanya kita berdalilkan perkataan mereka agar tidak membenarkan hal yang salah daripada mereka? Sedangkan kita sangat jauh dari keilmuan keimaman yang mereka semua itu telah diakui oleh seluruh para ulama. Dan kita menghukumi ulama melakukan kesalahan dengan alasan sederhana “Mereka bukan terbebas dari kesalahan” dan juga perkataan mereka agar tidak melakukan taqlid. Apakah kita hendak mengatakan para imam setelah itu juga tidak mempunyai ilmu hingga hanya ikut-ikutan semata dengan para imam yang melakukan Qunut?. Dan lalu kita hendak membanding-bandingkan hadits satu dengan hadits lainnya dengan predikat keshohihan dan kelemahannya, sedangkan hal itu pun adalah ijtihad para ulama peneliti hadits. Bagaimana kita hendak menghukumi hasil ijtihad dengan hasil ijtihad lalu memaksakan kebenaran bahwa kebenaran bahwa Qunut merupakan kesalahan?. Seakan-akan bumi ini kiamat jika ada seorang Muslim yang melakukan Qunut.

Telah kita ketahui bahwa Qunut berhukum sunnah dan tidak ada pendapat ulama bahwa yang tidak melakukan Qunut adalah terhukum berdosa, sesat, ahlul bid’ah bahkan keluar dari Islam. Hanya disebabkan perbedaan dan membandingkan-bandingkan pendapat untuk mengikuti yang diinginkan, kita relakan perpecahan persaudaraan antara Muslim satu dengan Muslim lainnya.

Penulis membaca sebuah artikel seorang Ustad aliran keras, semua artikelnya menuliskan semua hadits mengenai Qunut adalah lemah dan palsu serta mengutif pendapat ulama yang menyatakan predikat hadits adalah lemah dan palsu, namun tidak ada mengomentari hadits Bukhori dan Muslim yang jelas-jelas adalah shohih dan diakui seluruh ulama muhaditsin akan keshohihannya. Bagaimana menghukumi hadits shohih yang begitu banyaknya dan menghukumi hal itu dengan hadits berpradikat lemah sebagai landasan penolakkan? Bukankah hal itupun berpegang kepada kelemahan sebuah pendapat dalam predikat hadits untuk menghukumi? Sedangkan kita ketahui bahwa ustad itu pun bukanlah terakui keilmuannya oleh para ulama. Dan lalu beralasan bahwa Qunut tak dibenarkan secara terus menerus merupakan perbuatan bid’ah. Apa dalil dari menyatakan demikian, apakah hendak menyatakan Imam Bukhori salah dalam menyatakan hadits?. Apakah ada dari mereka yang berpendapat sama dengannya; terlarangnya Qunut terus menerus, yang melakukan Qunut walaupun tidak terus menerus padahal haditsnya ada dan tidak ada menyatakan tidak terus menerus?. Lalu menyatakan alasan bahwa Qunut dilakukan hanya ketika Muslim mendapatkan musibah. Apakah hendak menyatakan seluruh Muslim sudah tidak terkena dan terbebas dari musibah?. Yang mana telah kita ketahui saudara Muslim kita dibelahan bumi ini selalu terkena musibah dan fitnah.

Lalu penulis juga membaca sebuah artikel salah satu media, dimana ustadnya dengan jelas berdusta mengatakan “Bahwa Imam Syafi’I meninggalkan Qunut ketika sholat subuh didekat makam al-Imam Ahmad (Hambali)”. Bagaimana ungkapan ini bisa terjadi, padahal Imam Syafi’I telah wafat jauh sebelum Imam Hambali wafat?. Apakah mungkin sejasad mayit melakukan hal itu, sekalipun melakukan tidak mungkin ada yang mengetahui kabar itu kecuali orang yang diberikan kehendak oleh Allah untuk melihat sholatnya orang sholih yang telah wafat. Dan orang yang melihatnya pun tidak akan mengabarkannya dengan gamblang, terlebih hal itu dijadikan hujjah. Ataukah salah membaca. Dan menyatakan bahwa Imam Ahmad membid’ahkan Qunut. Apakah Imam ahmad atau ulama hambaliyah?.

Padahal telah diketahui, Imam Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Al-Hanabilah atau lebih akrab di lisan madzhab Hanbali, mengatakan bahwa seseorang yang bermakmum di belakang imam yang Qunut hendaknya dia mengikuti imam tersebut dan mengaminkan doanya, padahal Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, dalam riwayat yang cukup masyhur berpendapat bahwa doa Qunut subuh tidak disyariatkan, akan tetapi beliau memberikan dispensasi untuk mengikuti imam yang qunut pada shalat subuh tersebut untuk menghindari perbedaan pendapat yang akan berimbat pada perbedaan hati kaum muslimin. Bagaimana mungkin jika beliau benar menyatakan bid’ah lalu memerintahkan?

Dimana ormas-ormas Islam NU, Muhammadiyah, Persis dll di Indonesia telah memaklumi perbedaan itu yang berangsur-angsur membaik namun datang sekelompok manusia yang ingin membangkitkan perbedaan itu kembali untuk memecahkan barisan Muslim yang berangsur membaik. Kita pun bertanya, ada apa dan mengapa?

Catatan pribadi penulis-
Telah diketahui bahwa KH. Ahmad Dahlan pendiri Ormas Muhammadiyah sekalipun cara pandangnya berbeda dengan ulama lain pada zamannya, namun beliau masih melakukan Qunut.
Telah kita ketahui para ulama pada awal generasi ormas Persis sekalipun berbeda pandangan mengenai Qunut, namun tak satupun dari mereka menghukumi dengan keras bagi yang melakukannya.
Telah kita ketahui para ulama ormas NU sekalipun berbeda pandangan dengan ulama ormas lainnya , tidak ada yang menghukumi dan menisbatkan buruk terhadap muslim yang tidak melakukannya.
Telah kita ketahui sejarah dari Buya Hamka yang notabene Ulama ormas Muhammadiyah dan  KH. Abdullah Syafi’I. Ketika Buya Hamka menjadi Imam, beliau melakukan Qunut karena makmumnya berqunut.

Qunut Subuh seharusnya menjadi gerbang persaudaraan, bukan menjadikannya gerbang perpecahan karena tidak akan ada habisnya dan penyelesaian. Harusnya berlaku bijak dalam hal ini, jika Imam berqunut dan kita mau ikut berqunut maka kita telah mengikuti imam sebagai pemimpin kita. Dan ikut berqunutpun bukanlah sebuah hal yang buruk. Jika imam berqunut lalu kita tak mau berqunut maka kita berbaiksangka dan jangan menyatakan perbuatan itu salah. Karena tidaklah mungkin kita ingin mengatakan salah namun kita menjadikannya seorang pemimpin dalam sholat kita?. Bagaimana mungkin kita berimam pada imam yang melakukan kesalahan, lalu apa jadinya hukum terhadap sholat kita?. Begitupun yang berqunut harus meninggalkan kefantikannya jika imam tak berqunut maka ia pun mengikuti imam sebagai pemimpinnya.

Marilah kita sama-sama mentolerir perbedaan pendapat itu karena perbedaan itu tidaklah mengakibatkan seseorang menjadi keluar dari Islam atau menjadi kufur. Kita sama-sama menpereratkan Ukhwah Islamiyah yang lebih erat dari pada mengedepankan perbedaan yang tidak mengakibatkan seseorang keluar dari agama Islam. Kita jaga lisan kita agar tidak mengakibatkan bencana yang lebih besar. Semoga Allah menyatukan hati kita semua.

Demikian, Wallahua’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar