Bismillahirrohmaanirrohiim.
Persaudaraan Lebih Penting
Daripada Perpecahan-
Sikap Kita Menyikapi
Banyak dari orang Muslim ketika
mendengar kata Qunut, seketika itu alergi seakan-akan Qunut tidak diajarkan
oleh syari’at Islam. Padahal Qunut dilakukan oleh Rosulullah saw, para sahabat,
para tabi’in dan mulailah ada perbedaan pendapat setelah itu hingga zaman
sekarang. Sekalipun ada perbedaan pendapat dari para ulama dalam menyikapi
Qunut, namun semua ulama tidak menghilangkannya atau membid’ahkannya. Serta
para ulama tidak saling tuding pelaku Qunut adalah sesat, keluar dari Islam,
perbuatan yang salah atau dinisbatkan sebagai Ahlul bid’ah Wa Dholal. Para
Ulama tidak saling menuding dan menghukumi para ulama yang lain yang berbeda
pendapat diantaranya dengan ungkapan demikian buruknya karena yang berpendapat
lebih serius dalam hal Qunut adalah Al-Imam Syafi’I dan ulama-ulama yang senada
pendapat dengannya. Penudingan dan gelar buruk itu tidak pernah ada pada masa
itu hingga masa Rosulullah dan masa berdekatan dengan para ulama itu sendiri terkecuali
setelah jauh dari masa para Imam yang telah kita ketahui.
Apakah kita hendak menyatakan
para sahabat, para tabi’in dan para imam yang melakukan Qunut Subuh adalah
ahlul bid’ah lagi sesat?. Atau juga kita hendak menyatakan mereka salah karena
hanya kita berdalilkan perkataan mereka agar tidak membenarkan hal yang salah
daripada mereka? Sedangkan kita sangat jauh dari keilmuan keimaman yang mereka
semua itu telah diakui oleh seluruh para ulama. Dan kita menghukumi ulama
melakukan kesalahan dengan alasan sederhana “Mereka bukan terbebas dari
kesalahan” dan juga perkataan mereka agar tidak melakukan taqlid. Apakah kita
hendak mengatakan para imam setelah itu juga tidak mempunyai ilmu hingga hanya
ikut-ikutan semata dengan para imam yang melakukan Qunut?. Dan lalu kita hendak
membanding-bandingkan hadits satu dengan hadits lainnya dengan predikat
keshohihan dan kelemahannya, sedangkan hal itu pun adalah ijtihad para ulama
peneliti hadits. Bagaimana kita hendak menghukumi hasil ijtihad dengan hasil
ijtihad lalu memaksakan kebenaran bahwa kebenaran bahwa Qunut merupakan
kesalahan?. Seakan-akan bumi ini kiamat jika ada seorang Muslim yang melakukan
Qunut.
Telah kita ketahui bahwa Qunut
berhukum sunnah dan tidak ada pendapat ulama bahwa yang tidak melakukan Qunut
adalah terhukum berdosa, sesat, ahlul bid’ah bahkan keluar dari Islam. Hanya
disebabkan perbedaan dan membandingkan-bandingkan pendapat untuk mengikuti yang
diinginkan, kita relakan perpecahan persaudaraan antara Muslim satu dengan
Muslim lainnya.
Penulis membaca sebuah artikel
seorang Ustad aliran keras, semua artikelnya menuliskan semua hadits mengenai
Qunut adalah lemah dan palsu serta mengutif pendapat ulama yang menyatakan predikat
hadits adalah lemah dan palsu, namun tidak ada mengomentari hadits Bukhori dan
Muslim yang jelas-jelas adalah shohih dan diakui seluruh ulama muhaditsin akan
keshohihannya. Bagaimana menghukumi hadits shohih yang begitu banyaknya dan
menghukumi hal itu dengan hadits berpradikat lemah sebagai landasan penolakkan?
Bukankah hal itupun berpegang kepada kelemahan sebuah pendapat dalam predikat
hadits untuk menghukumi? Sedangkan kita ketahui bahwa ustad itu pun bukanlah
terakui keilmuannya oleh para ulama. Dan lalu beralasan bahwa Qunut tak
dibenarkan secara terus menerus merupakan perbuatan bid’ah. Apa dalil dari
menyatakan demikian, apakah hendak menyatakan Imam Bukhori salah dalam
menyatakan hadits?. Apakah ada dari mereka yang berpendapat sama dengannya;
terlarangnya Qunut terus menerus, yang melakukan Qunut walaupun tidak terus
menerus padahal haditsnya ada dan tidak ada menyatakan tidak terus menerus?.
Lalu menyatakan alasan bahwa Qunut dilakukan hanya ketika Muslim mendapatkan
musibah. Apakah hendak menyatakan seluruh Muslim sudah tidak terkena dan
terbebas dari musibah?. Yang mana telah kita ketahui saudara Muslim kita
dibelahan bumi ini selalu terkena musibah dan fitnah.
Lalu penulis juga membaca sebuah
artikel salah satu media, dimana ustadnya dengan jelas berdusta mengatakan
“Bahwa Imam Syafi’I meninggalkan Qunut ketika sholat subuh didekat makam
al-Imam Ahmad (Hambali)”. Bagaimana ungkapan ini bisa terjadi, padahal Imam
Syafi’I telah wafat jauh sebelum Imam Hambali wafat?. Apakah mungkin sejasad
mayit melakukan hal itu, sekalipun melakukan tidak mungkin ada yang mengetahui
kabar itu kecuali orang yang diberikan kehendak oleh Allah untuk melihat
sholatnya orang sholih yang telah wafat. Dan orang yang melihatnya pun tidak
akan mengabarkannya dengan gamblang, terlebih hal itu dijadikan hujjah. Ataukah
salah membaca. Dan menyatakan bahwa Imam Ahmad membid’ahkan Qunut. Apakah Imam
ahmad atau ulama hambaliyah?.
Padahal telah diketahui, Imam
Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Al-Hanabilah atau lebih akrab di lisan madzhab
Hanbali, mengatakan bahwa seseorang yang bermakmum di belakang imam yang Qunut
hendaknya dia mengikuti imam tersebut dan mengaminkan doanya, padahal Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah, dalam riwayat yang cukup masyhur berpendapat
bahwa doa Qunut subuh tidak disyariatkan, akan tetapi beliau memberikan
dispensasi untuk mengikuti imam yang qunut pada shalat subuh tersebut untuk menghindari
perbedaan pendapat yang akan berimbat pada perbedaan hati kaum muslimin.
Bagaimana mungkin jika beliau benar menyatakan bid’ah lalu memerintahkan?
Dimana ormas-ormas Islam NU,
Muhammadiyah, Persis dll di Indonesia telah memaklumi perbedaan itu yang
berangsur-angsur membaik namun datang sekelompok manusia yang ingin
membangkitkan perbedaan itu kembali untuk memecahkan barisan Muslim yang
berangsur membaik. Kita pun bertanya, ada apa dan mengapa?
Catatan pribadi penulis-
Telah diketahui bahwa KH. Ahmad
Dahlan pendiri Ormas Muhammadiyah sekalipun cara pandangnya berbeda dengan
ulama lain pada zamannya, namun beliau masih melakukan Qunut.
Telah kita ketahui para ulama
pada awal generasi ormas Persis sekalipun berbeda pandangan mengenai Qunut,
namun tak satupun dari mereka menghukumi dengan keras bagi yang melakukannya.
Telah kita ketahui para ulama
ormas NU sekalipun berbeda pandangan dengan ulama ormas lainnya , tidak ada
yang menghukumi dan menisbatkan buruk terhadap muslim yang tidak melakukannya.
Telah kita ketahui sejarah dari
Buya Hamka yang notabene Ulama ormas Muhammadiyah dan KH. Abdullah Syafi’I. Ketika Buya Hamka
menjadi Imam, beliau melakukan Qunut karena makmumnya berqunut.
Qunut Subuh seharusnya menjadi
gerbang persaudaraan, bukan menjadikannya gerbang perpecahan karena tidak akan
ada habisnya dan penyelesaian. Harusnya berlaku bijak dalam hal ini, jika Imam
berqunut dan kita mau ikut berqunut maka kita telah mengikuti imam sebagai
pemimpin kita. Dan ikut berqunutpun bukanlah sebuah hal yang buruk. Jika imam
berqunut lalu kita tak mau berqunut maka kita berbaiksangka dan jangan
menyatakan perbuatan itu salah. Karena tidaklah mungkin kita ingin mengatakan
salah namun kita menjadikannya seorang pemimpin dalam sholat kita?. Bagaimana
mungkin kita berimam pada imam yang melakukan kesalahan, lalu apa jadinya hukum
terhadap sholat kita?. Begitupun yang berqunut harus meninggalkan kefantikannya
jika imam tak berqunut maka ia pun mengikuti imam sebagai pemimpinnya.
Marilah kita sama-sama mentolerir
perbedaan pendapat itu karena perbedaan itu tidaklah mengakibatkan seseorang
menjadi keluar dari Islam atau menjadi kufur. Kita sama-sama menpereratkan
Ukhwah Islamiyah yang lebih erat dari pada mengedepankan perbedaan yang tidak
mengakibatkan seseorang keluar dari agama Islam. Kita jaga lisan kita agar
tidak mengakibatkan bencana yang lebih besar. Semoga Allah menyatukan hati kita
semua.
Demikian, Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar