2 Desember 2013

MENCINTAI PARA HABAIB

Oleh: Pray. Ksn
Bismillahirrohmaanirrohiim.

Sebagai Umat Islam (Muslim) mencintai Rosulullah Sholallahu’alaihi wasallam adalah sebuah keharusan yang tidak boleh terlepaskan hingga mencintai beliau melebihi makhluk apapun. Cinta Rosul tidak boleh padam, karena ketika cinta pada Rosulullah SAW padam, maka gairah Islam pun bakal redup, pada ujungnya kita tidak bakal mencecap kelezatan ruhani dalam menjalani agama. Ada orang yang tekun beribadah, tetapi karena tidak disertai energi cinta pada Rosulullah Muhammad SAW, niscaya ia tidak bisa merengkuh mutiara agama dari cangkangnya. Bahkan tak jarang ada orang yang dibelenggu oleh konflik yang muncul dari dalam dirinya sendiri, sehingga tidak bisa menjalin harmoni yang indah dengan diri dan sesama.

Suatu kisah yang amat menarik, ada orang yang tekun beribadah, bahkan dia mengklaim hidupnya dipandu al-Qur’an dan Hadist, hanya saja kenyataan hidup dirasakan tetangganya tidak pernah memancar kedamaian darinya, terbukti dia tidak pernah bisa mengambil hati tetangga. Dia terkenal oversensorship terhadap ajaran-ajaran yang dikatakan tidak selaras dan al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, cara dakwah yang dilakukan tidak mengundang simpati, malahan menuai kontroversi dan kebencian dari masyarakat sekitar. Karena dia tidak bisa memoles dan menikmati suasana kondusif, dia sering pindah dari satu perumahan ke perumahan yang lain, dari satu kota ke kota yang lain. Mengapa mereka mengalami konflik batin, ya karena tidak pernah tersambung dalam jalinan cinta pada Rosulullah Muhammad SAW.

Cinta Rosul menjadi modalitas untuk bisa menumbuhkan cinta dalam diri setiap orang, yang kemudian merambat pada sesama dan kehidupan. Bagaimana bisa memekarkan bunga cinta pada Rosulullah Muhammad SAW dalam hati? Selain melaksanakan perintah beliau dan mengikuti syi’ar syi’ar agama juga harus selalu mendekati orang-orang sholeh yang dapat mengingatkan kita pada Allah SWT. Yaitu para ulama, para habaib dan orang-orang yang memancarkan cahaya ilahi. Seorang habib yang ceramah-ceramahnya menggetarkan jiwa, meruntuhkan kebekuan iman, dan membuka gerbang kesadaran baru tentang kecintaan pada Rosul yang Agung. Yang menampilkan kesederhanaan, melihat penampilan busananya kita mengingatkan laksana berada pada zaman Rosulullah, baik dari gamisnya, penutup kepalanya hingga kerapihannya yang begitu mempesona dengan kesederhanaan yang melekat pada penampilannya. Siapapun yang melihat itu merasakan mendapatkan pantulan Rosulullah SAW dari para keturunan yang disucikan itu. Jelas saja karena kakeknya selalu didoakan oleh Rosulullah hingga dimuliakan oleh Rosulullah dengan panggilan mulia “sayyid” pada Sayyidina Hasan. Maka Rosulullah bersabda:

اِبْنِيْ هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ يُصْلِحُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Sesungguhnya anakku ini adalah Sayyid (pemimpin). Semoga melalui perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin”

Bersholawat selalu, senyum. Menatap para habaib saat memuja-memuja Rosulullah SAW meresapkan kebahagiaan tersendiri bagi diri yang melihat dan mendengarkannya. Tercermin dari wajah yang berseri-seri dan kelembutannya dalam berdakwah dan mengajak orang, tak ada wajah sangar yang kita lihat dari habaib yang berdakwah. Mereka telah disuluh dengan cahaya kelembutan Rosul, karena itu dakwah yang dilakukan mereka lebih mengedepankan akhlak luhur dan sikap yang punya daya interesting. Sehingga makin masuk dalam jantung kecintaan pada Rosulullah Muhammad SAW. Karena mereka melihat jejak para kakek-kakeknya dalam berdakwah, Sayyidina Ali k.w, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husein, Al Imam Ahmad Al Muhajir bin Ahmad bin Isa 'alaihi rahmatullah yang dari keturunannya para Wali Songo, sayyid Al Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawy pimpinan thoriqoh 'alawiyah mematahkan pedangnya dan berkata: "Mulai saat ini keturunanku tidak akan lagi turun ke dalam kancah peperangan, pertempuran atau perebutan kepemimpinan", demikian perbuatan sayyidina Al Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawy, yang ingin berdakwah bukan dengan jalur kekerasan hingga keturunan Rosulullah saat ini dari jalur keturunan yang berbeda-beda. Siapapun yang melihat dan mendengarkan walaupun hanya lewat TV atau CD atau bertatap langsung dapat kita diperkenalkan tentang cinta pada Rosulullah Muhammad SAW, tetapi kita dapat menyibak tirai keajaiban keturunan Rosulullah dari para Habaib yang tidak pernah lepas dari busana akhlak yang dipergunakan beliau SAW, salah satunya dermawan. Beliau benar-benar berusaha bagaimana bisa memuaskan jamaah yang hadir.

Cermin akhlak Rosulullah SAW sebagian bisa dilihat dari akhlak yang terlukis dari keturunan beliau. Dan kalau kita mencintai Rosulullah SAW, maka kita harus mencintai keturunannya. Karena dari keturunan Rosulullah, ilmu hikmah mengalir dengan deras yang membikin orang menemukan keindahan agama, tanpa harus merasa kesulitan. Bergaul dengan keturunan Rosulullah SAW, kita bakal mendapati agama yang humanis, mengedepankan akhlak yang agung, tak pernah sedikit pun menyalahkan apalagi mencemoohkan orang lain. Rasa cinta pada beliau SAW makin bergelora ketika melihat pantulan akhlak Rosulullah yang terpancar pada pribadi-pribadi Habaib. Kita melihat senyum indah melulu menghiasi wajah mereka. Ada keguyupan dan kebersatuan dalam komunitas mereka, selain mereka dengan suka cita berbaur bersama orang-orang di luar komunitas habaib. Ini membuktikan, demi bisa menggelar dakwah lebih luas diharuskan berbaur dengan masyarakat yang berbeda latar belakang tradisi, tetapi tetap mengacu pada cara-cara yang telah dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad SAW. Islam dicitrakan sebagai agama inklusif, terbuka terhadap tradisi dan latar belakang apapun. Mengapa demikian? Karena islam digelar oleh utusan yang berprinsip rohmatan lil ‘alamin (Rahmat bagi semesta alam).

Mengikuti syi’ar-syi’ar agama misalnya maulid ataupun acara syi’ar lainnya, tidak sekadar bisa mengejawantahkan rasa kerinduan dan cinta pada Rosulullah Muhammad SAW lewat pembacaan sholawat bersama, tetapi bisa membangun jalinan ukhuwah atau pergaulan dengan orang yang berasal dari trah yang mulia, trah Rosulullah Muhammad SAW. Bukankah yang ditinggalkan Nabi ada tiga, yakni al-Qur’an, Hadist, dan keturunan beliau yang suci. Al-Qur’an dan hadist sebuah konsep agama yang mati, tetapi keturunan beliau yang dipasoki nilai-nilai agama tetap hidup, dan mengikuti jalan dakwah yang pernah dirintis beliau Saw. Semoga kita makin bisa meneguhkan cinta pada Rosulullah Muhammad SAW dengan cara bershalawat dan diperkenankan bergaul dengan keturunan Nabi Muhammad Saw.

Demikian. Wallahua’lam.

3 komentar:

  1. Asalamualaikum wr wb,Bang ane ijin copas ya

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum,
    Saya izin copy foto nya ya

    BalasHapus
  3. Sangat bagus menambah kecintaan saya pada rasulallah ..semoga saya bisa bertemu para habaib secara langsung sebelum wafat.

    BalasHapus