5 Desember 2013

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH?



Oleh: Pray. Ksn
Bismillahirrohmaanirrohiim

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH?

A.     PROLOG

Tela’ah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja/ اهل السنة والجماعة السلفية الاشعرية) sebagai bagian dari kajian ke-Islam-an merupakan upaya yang mendudukkan Aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.

Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (Hurriyah); yakni kebebasan berfikir (Hurriyah al-ro’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (Hurriyah Al-Irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (Hurriyah Al-Harokah).

Ahli Sunnah Wal Jama’ah rupanya begitu menarik. Begitu banyak pihak yang mengklaimnya bahwa merekalah yang pantas disebut sebagai Ahli Sunnah Waljama’ah sebagai pewaris tunggal Rasulallah saw dan para sahabatnya. Lantas siapa sebenarnya mereka yang disebut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?

Berangkat dari pemikiran di atas, maka persoalan yang muncul adalah siapakah golongan Aswaja itu? Bagaimana perkembanganya? Apakah aliran-aliran Islam yang ada termasuk golongan Aswaja ?

B.     PENGERTIAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan Rosulullah "Ma Ana 'Alaihi Wa Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rosulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa: "Bani Isroil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai Rosulullah?", lalu Rosulullah menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi Wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.

Dalam hadits tersebut Rosulullah SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rosulullah dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi Wa Ashabi" atau Ahli Sunnah Wal Jama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thoriqoh Fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" (Metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).

Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rosulullah SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya konsep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (Direkonstruksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat Tahun 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat Tahun 944 M) pada saat munculnya berbagai golongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thoriqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

Secara semantik arti Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab). Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadits. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shohabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Sahabat dan tabi’in.

Sejak dini Rasulallah saw telah mensinyalir eksistensi mereka ketika turunnya sebuah ayat Alqur’an: ”Maka kelak Allah swt akan mendatangkan suatu kaum yang Allah swt mencintai mereka dan merekapun mencintainya” (QS. Al-Maidah: 54). Bersamaan dengan turunnya ayat tersebut, Rasulallah saw memberi isyarat dengan menunjukan jarinya kepada Abu Musa Al-Asy’ari dan bersabda: “Wahai Abu Musa Al Asy’ari,kaum itulah pada hakikatnya adalah pengikut -pengikutmu.” (HR. Imam Al-Hakim).

Ahlu sunnah berarti ialah penganut sunnah Nabi, Wal Jama’ah berarti yang menganut I’tiqod jamaah para sahabat Nabi saw. Maka pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Nabi Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rosulullah:
“…Faman aroda buhbuhata al-jannati falyalzimi al-jama’ah…”
Maknanya:
“…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang disurga hendaklah berpegang teguh pada al-jama’ah yakni berpegang teguh pada aqidah al-jama’ah”. (Hadits ini dishohihkan oleh Imam al-Hakim dan Imam At-Tarmidzi mengatakan “Hadits ini hasan shohih”).

C.     LATAR BELAKANG KEMUNCULAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Periode Pada Masa Rasulullah Saw.
Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, semuanya mudah dan gampang, karena segala sesuatu dapat ditanyakan kepada beliau. Perselisihan paham timbul sesudah Nabi Yang Sangat Mulia Nabi Muhammad S.A.W. Wafat tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah (Tanggal 8 Juni 632 Masehi). Pada hari wafat beliau sekumpulan kaum Anshar (Sahabat-sahabat Nabi yang berasal dari Madinah) berkumpul di suatu Balairung yang bernama SAQIFAH BANI SA’IDAH untuk mencari kholifah (Pengganti Nabi yang sudah wafat).

Kaum Anshor ini dipimpin oleh Sa’ad bin Ubadah (Ketua kaum Anshar dari suku Khozraj). Mendengar hal ini kaum Muhajirin (Sahabat-sahabat dari Mekkah yang pindah ke Madinah) datang bersama-sama ke Balairung itu, dengan dipimpin oleh Sayyidina Abu Bakar Shiddiq R.a. Sesudah terjadi perdebatan yang agak sengit antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin yang setiapnya mengemukakan calon dari pihaknya, bersepakatlah mereka mengangkat Sahabat yang paling utama Sayyidina Abu Bakar Shiddiq sebagai Kholifah yang pertama. Perdebatan ketika itu hanya terjadi antara golongan kaum Anshor yang mengemukakan Sa’ad bin Ubadah sebagai calonnya dengan kaum Muhajirin yang mengemukakan Sayyidina Umar bin Khotab atau Sayyidina Abu Bakar sebagai calon-calon kholifah Nabi.

Dalam rapat itu tidak ada seorangpun yang mengemukakan Sayyidina’Ali bin Abi Tholib sebagai Kholifah pertama pengganti Nabi. Paham kaum Syi’ah belum ada ketika itu. Yang ada hanya kaum Anshor dan kaum Muhajirin, tetapi ternyata bahwa perselisihan paham antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin tidak menimbulkan firqoh dalam ushuluddin, karena perselisihan pendapat sudah selesai dikala Sayyidina Abu Bakar sudah terangkat dan terpilih secara aklamasi (suara sepakat).

Periode Pada Masa Sahabat Rasulullah
Pada tahun 30 Hijriyah timbul paham Syi’ah yang dikobarkan oleh Abdullah bin Saba’ yang beroposisi terhadap Kholifah Sayyidina Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak begitu dapat penghargaan dari Kholifah dan juga dari ummat Islam yang lain. Oleh karena itu ia jengkel. Sesudah terjadi “Peperangan Siffin”, peperangan saudara sesama Islam, yaitu antara tentara Kholifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah bin Abu Sofyan (Gubernur Syria) pada tahun 37 Hijriyah timbul pula firqoh Khowarij, yaitu orang-orang yang keluar dari Sayyidina Mu’awiyah R.a. dan dari Sayyidina ‘Ali K.w.

Periode Abad Ke II Hijriyah
Kemudian timbul pula Kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ (Lahir 80 H – wafat 113 H) dan Umar bin Ubeid (Wafat 145 H). Kaum Mu’tazilah ini mengeluarkan fatwa yang ganjil-ganjil, yang berlainan dan berlawanan dengan i’tiqod Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Di antara fatwa-fatwa yang ganjil dari Kaum Mu’tazilah itu, ialah adanya “Manzilah Bainal Manzilatein”, yakni ada tempat di antara dua tempat, ada tempat yang lain selain surga dan neraka. Banyak lagi fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah, umpamanya fatwa yang mengatakan bahwa sifat Tuhan tidak ada, bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa mi’roj Nabi hanya dengan ruh saja, bahwa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadits-hadits Nabi, bahwa surga dan neraka akan lenyap, dan lain-lain fatwa yang keliru dll.

Kemudian timbul pula paham Qodariyah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, tidak sangkut-paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak perduli lagi apa yang akan dibuat oleh manusia dll.

Kemudian timbul pula paham, Jabariyah yang mengatakan bahwa sekalian yang terjadi adalah dari Tuhan, manusia tak punya daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhtiyar dll.

Kemudian timbul pula paham Mujassimah, yakni paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, punya tangan, punya kaki, duduk di atas kursi, turun dari tangga serupa manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu, dan lain-lain kepercayaan.

Kemudian lahir pula paham-paham yang keliru tentang tawasul dan wasilah, tentang ziarah dan istighatsah dari Ibnu Taimiyah yang semuanya mengacaukan dunia Islam dan kaum Muslimin. 

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rosyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Kholifah Ali bin Abi Thalib KW dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Kholifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan seperti dijelaskan diatas .

Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (Tsaqofiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (Firqoh) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (W. 179 H), Imam Syafi’i (W. 204 H), Ibn Kullab (W. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (W. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (W 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (W. 333 H).

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an, apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salaf (terdahulu) dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

Kepada dua ulama terakhir inilah Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (W. 333 H), permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya. Perkataan Ahlussunah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan Ahlussunah saja, atau Sunny saja dan kadang-kadang disebut ‘Asy’ari atau Asya’iroh, dikaitkan kepada guru besarnya Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari. Terhadap madzhab al-Asya’iroh ini ada yang barangkali tidak tahu jika sebutan ini adalah kata lain dari Aswaja.dan ini sangat disayangkan karna bisa menjadi faktor retaknya kesatuan golongan Ahlus Sunnah dan terpecah-pecahnya kesatuan Jama`ah, sehingga sebagian orang yang jahil memasukkan al-Asya’iroh dalam kelompok golongan yang sesat padahal jelas jelas mereka Aswaja karna Nama Asya`iroh justru diambil dari nama salah satu pendiri Aswaja Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.!!

D.    ALIRAN AHLUS SUNNAH WALJAMA’AH ASY’ARIYAH DAN AL MATURIDIYAH.

Al-Imam Asy’ari
Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Hasan Al-Asyari (260-324 H). Mula-mula beliau berguru kepada tokoh Mu’tazilah bernama Abu Ali Al-Juba’i yang juga merupakan bapak tirinya. Beliau pun juga dikenal sebagai penganut faham Mu’tazilah yang utama. Imam Abu Hasan Al-Asy’ari juga sering diminta menggantikan mengajar di majelis pengajian gurunya Al-Juba’i. Namun seiring perjalanan waktu, dikemudian hari beliau merasa ketidakcocokan dengan aliran Mu’tazilah. Hal itu mencapai puncaknya setelah terjadi diskusi-perdebatan antara Imam Asy’ari dengan gurunya Al-Juba’I sebagai berikut:
Imam Asy’ari: Bagaimana menurut pendapat anda tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan : mukmin, kafir dan anak kecil.
Al-Juba’i: Orang mukmin masuk surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
Imam Asy’ari: Apabila anak kecil itu ingin masuk surga, apakah mungkin?
Al-Juba’i: Tidak mungkin, bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
Imam Asy’ari: Seandainya anak kecil itu berkata: Memang aku belum beramal. Seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku akan beramal seperti amalnya orang mukmin.
Al-Juba’i: Allah akan menjawab: Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa niscaya engkau bermaksiat dan engkau akan masuk neraka. Karena itu Aku sengaja mematikanmu sebelum engkau dewasa.
Imam Asy’ari: Seandainya orang kafir itu bertanya kepada Allah: Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana mengetahui keadaan si anak kecil, mengapa Engkau tidak menjaga kemaslahatanku dan mematikan aku selagi masih kecil?”.

(Maka Al-Jubai terdiam, tidak mampu menjawab)
Beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dan faham ahli fiqih-Hadits. Ketika mencapai umur 40 tahun, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari mengurung diri dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jumat, dia naik mimbar Masjid Basrah, menyatakan secara resmi keluar dari aliran Mu’tazilah dengan berpidato:
Wahai sekalian manusia, barang siapa mengenalku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa belum mengenalku, maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk; bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata; bahwa perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat dan menolak faham-faham Mutazilah dan keluar daripadanya”.

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari setelah keluar dari Mu’tazilah beliau merumuskan ajaran-ajarannya kembali berdasarkan manhaj salafus shaleh, beliau mengikuti pendapat imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau merumuskan ajarannya berada ditengah-tengah antara kaum Mu’tazilah yang rasionalis-liberalis dengan kaum Anthropomorpis-literalis. Beliau kembali ke manhaj salaf dengan mendasarkan kepada nash Al-Quran dan Hadits, tetapi menerangkannya dengan menggunakan metode Scholastis yang rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata perumusan ajaran-ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat Islam.

Imam Abu Hasan Asyari pernah mengatakan: “Sesungguhnya banyak pengikut aliran Mu’tazilah dan Qadariyah yang menuruti hawa nafsu mereka untuk bertaqlid pada pimpinan-pimpinan mereka dan orang-orang yang mendahului mereka, sehingga mereka mentakwilkan Al-Quran menurut pendapat mereka sendiri, dengan suatu ta’wilan dimana Allah tidak menurunkan padanya suatu kekuasaan dan tidak menjelaskan padanya suatu bukti dan merekapun tidak menukilkan dari Rasul, begitu pula tidak dari orang-orang salaf terdahulu”.

Seorang Ulama dan peneliti asal Mesir, Dr. Muhammad Abu Zahrah menuliskan metodologi dan pemikiran Imam Hasan Asy’ari sebagai berikut:
1.      Menempatkan Al-Quran dan hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa AL-Quran maupun Hadits sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Asy’ariyah).
2.      Meletakkan tekstual nash (Dhawahur An-Nushus) yang masih mungkin membutuhkan interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa harus dipaksakan masuk dalam tasybih secara murni. Dalam hal ini mempunyai dampak atau konsekuensi logis, bahwa ia tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman kalau Allah mempunyai wajah, akan tetapi sangat berbeda dengan wajah semua mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan yang tidak sama dengan tangan makhluk-nya.
3.      Memperbolehkan berhujjah dalam hal akidah, meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa sebenarnya hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas ia menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujuan akidah (Tentunya hadits ahad yang sahih).

Imam Abu Hasan Asyari telah menulis sekitar 300 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu. Diantara kitabnya yang terkenal adalah Al-Ibanah An Ushul Ad-Dinayah, sebuah kitab besar tentang Ushuludin, Kitab Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Kitab Maqalatul Islamiyyin dan Al-Luma’ dll.

Orang-orang yang mengaku pengikut Imam Ahmad bin Hanbal (Kaum Hanbaliyin) yang juga kadang disebut kaum salaf tetap mencurigai beliau, karena beliau sebelumnya dikenal sebagai penganut Mu’tazilah disamping karena Imam Asy’ari menggunakan metode scholastik yang dianggap masih berbau Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i. Akibatnya orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin menentangnya dan mengkafirkannya bahkan menghalalkan darah orang-orang yang mendukung ajarannya. Penentangan orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin terhadap faham Asyariyah, bisa diruntut sebagai berikut:
a.       Sepeninggal Khalifah Al-Watsiq, tampuk kekuasaan ada ditangan Khalifah Al-Mutawakkil (205-247 H). Khalifah Al-Mutawakkil tidak mendukung faham Mutazilah, beliau kembali melarang ajaran tentang kemakhlukan Al-Quran bahkan beliau melakukan pembersihan terhadap ulama-ulama Mu’tazilah yang dulu mempropagandakan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Beliau sangat menghoramati dan mendukung ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.
b.      Sejak masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, banyak menteri yang diangkat dari kalangan Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi oleh ulama-ulama Hanbaliyin.
c.       Ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asy’ari yang eks Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i yang merumuskan kembali manhaj salafus-saleh berdasarkan nash Al-Quran dan Hadits tetapi dengan metode scholastik, kenyataannya menarik perhatian dan diterima oleh banyak orang. Hal ini tidak disukai dan dicurigai oleh kaum Hanbaliyin-Salafiyin yang merasa lebih salaf dari dulunya. Popularitas ajaran Asy’ariyah yang bermazhab Syafi’iyah dikhawatirkan mengurangi pengaruh kaum Hanbaliyin-Salafiyin dilingkungan istana Khalifah.
d.      Salah seorang menteri pada masa Khalifah Al-Qaim Biamrillah (391-467 H) yang bernama Amid al Mulk sampai-sampai mengeluarkan praturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang penganut Asy’ariyah.

Disatu pihak orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin yang menentang ajaran Asy’ariyah, di pihak lain banyak ulama-ulama besar Syafi’iyah yang mendukung ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Asyari, diantaranya:
1.      Abu Bakar bin Tayyib Al-Baqillany (Wafat 403 H). Beliau lahir dikota Basrah. Kitab karangannya yang terkenal adalah At Tahmid, artinya pendahuluan, Kitab At Tahmid ini perlu dipelajari sebelum seseorang memasuki Ilmu Kalam, berisi antara lain tentang atom (jauhar fard), sifat (ardl) dan cara pembuktian.
2.      Abu Ma’aly bin Abdillah Al-Juwainy (419-478 H), lahir di Nisabur kemudian berpindah ke Baghdad, Beliau mengikuti ajaran Imam Asy’ari dan Al-Baqillany. Imam Al-Juwainy sempat menjadi sasaran amarah orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin karena mengikuti ajaran Asy’ariyah yang dianggap terlalu memberi porsi kepada akal. Karena peristiwa itu, terpaksa beliau meninggalkan Baghdad dan bermukim di Mekkah dan Madinah untuk memberi pelajaran. Karena itu beliau digelari Imam Haramain (Imam dua tanah suci). Beliau mengarang beberapa kitab, diantaranya Kitab Qowaidlu Aqaidu Ahli Sunnah Wal Jama’ah yaitu Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berdasarkan perumusan Imam Abu Hasan Asy’ari. Dari sinilah selanjutnya aliran Asy’ariyah menjadi populer, diterima oleh mayoritas umat Islam dan disebut dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah sampai sekarang.
3.      Imam Syarastani (479-574 H) lahir di Khurasan, pengarang Kitab Al-Milal wa An-Nihal, kitab terbaik tentang firqoh-firqoh dalam theologi Islam yang sangat terkenal.
4.      Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H), murid Imam Al-Juwainy. Menguasai hampir semua ilmu keislaman temasuk filsafat, digelari Hujjatul Islam pengarang Kitab IHYA ULUMIDDIN yang sangat terkenal. Kitab Ihya ini berisi uraian yang panjang lebar tentang fiqih, akhlak dan penyucian jiwa (tasawuf) tanpa memasuki area ittihad dan hulul. Kitab Ihya ini berhasil mengkompromikan dan meredam polemik perselisihan antara ahli tasawuf dan ahli syariat.
5.      Imam Fahruddin Ar-Razi (Lahir 543 H) di Persia. Banyak menulis kitab-kitab tentang ilmu kalam, Fiqih, Tafsir dan lain-lain.
6.      Imam As-Sanusi (833-895 H), lahir di Tilimsan Aljazair. Mengarang Kitab Aqidah Ahli Tauhid tentang pandangan tauhid Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Kitab Ummul Barahin, berisi sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan RasulNya, isinya praktis sangat populer di pesantren-pesantren di Indonesia.

Al-Imam Al-Maturidi
Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam Abu Manshur Al-Maturidy (wafat 333 H). Lahir di kota Maturid Samarkand. Hidup hampir sejaman dengan Imam Abu Hasan Asy’ari, hanya saja kota tempat tinggalnya berbeda. Imam Maturidy bermazhab Hanafi, maka tidak heran kebanyakan pengikutnya adalah orang-orang pengikut mazhab Abu Hanifah, sedangkan Imam Asy’ari bermazhab Syafii.

Secara umum pemikiran dan ajarannya tidak jauh berbeda dengan Imam Abu Hasan Asy’ari. Banyak segi persamaannya, hanya sekitar 10 masalah saja yang berbeda, antara lain:
Masalah takdir. Asyari lebih dekat kepada Jabariyah, sedangkan Maturidy lebih dekat kepada Qadariyah. Persamaannya keduanya sama-sama menentang Mutazilah dan membela faham salafus saleh berdasarkan nash Al-Quran dan Hadits.
Perbedaan lain, Asy’ari berpendapat bahwa marifat kepada Allah berdasarkan tuntutan syara’, sedangkan Maturidy berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal. Menurut Asy’ari sesuatu itu baik atau buruk menurut syara’, sedangkan menurut Maturidy sesuatu itu sendiri mempunyai sifat baik dan buruk. Al Maturidy menaruh porsi akal lebih banyak dalam hal ma’rifat kepada Allah dan penentuan apakah sesuatu itu baik dan buruk. Tetapi juga disadari bahwa akal semata-mata belum cukup untuk mengetahui hukum-hukum taklifiah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah.

Berbeda halnya dengan Asy’ari yang kitab-kitab karangannya mudah didapatkan sampai sekarang, seperti Kitab Maqalatul Islamiyyin, Kitab Al-Ibanah dan Kitab Al-Luma, maka kita kesulitan mendapatkan Kitab Maturidiyah. Yang jelas beliau bermazhab Hanafi. Pandangan-pandangan tauhidnya berasal dari pendapat Imam Abu Hanifah.

Jadi dengan demikian, Asy’ariyah dan Maturidiyah, keduanya sama-sama kembali ke manhaj Salafus Saleh, (Mengikuti faham Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal) berdasarkan pada nash Al-Quran dan Hadits, beriman kepada semua ayat-ayat mutasyabih dan sifat khabariyah tanpa terlalu jauh menta’wilkannya. Keduanya sama-sama menentang aliran Mu’tazilah yang ultra rasionalis-liberalis dan keduanya juga menentang aliran Musyabbihah-Mujasimah yang ultra tekstualis-literalis sehingga jatuh pada anthropomorpisme (Menyerupakan Allah dengan keadaan makhluk, seperti mempunyai anggota tubuh (Jism), duduk, datang, melempar dsb). Kepada dua ulama terakhir inilah Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (W. 333 H), permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan. Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an, apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salaf (terdahulu) dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

E.     SIAPAKAH AHLU SUNNAH WALJAM’AH

Kepada dua ulama yaitu al-Imam Asy’ari dan al-Imam Maturidi inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya. Perkataan Ahlussunah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan Ahlussunah saja, atau Sunny saja dan kadang-kadang disebut ‘Asy’ari atau Asya’iroh, dikaitkan kepada guru besarnya Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari. Terhadap madzhab al-Asya’iroh ini ada yang barangkali tidak tahu jika sebutan ini adalah kata lain dari Aswaja.dan ini sangat disayangkan karna bisa menjadi faktor retaknya kesatuan golongan Ahlus Sunnah dan terpecah-pecahnya kesatuan Jama`ah, sehingga sebagian orang yang jahil memasukkan al-Asya’iroh dalam kelompok golongan yang sesat padahal jelas jelas mereka Aswaja karna Nama Asya`iroh justru diambil dari nama salah satu pendiri Aswaja Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.!!

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari
Imam Abu Hasan Asy’ari yaitu keturunan Sahabat Rasulullah Abu Musa al-Asy’ari. Sejak dini Rasulallah saw telah mensinyalir eksistensi mereka ketika turunnya sebuah ayat Alqur’an: ”Maka kelak Allah swt akan mendatangkan suatu kaum yang Allah swt mencintai mereka dan merekapun mencintainya” (QS. Al-Maidah: 54) bersamaan dengan turunnya ayat tersebut, Rasulallah saw memberi isyarat dengan menunjukan jarinya kepada Abu Musa Al-Asy’ari dan bersabda: “Wahai Abu Musa Al Asy’ari,kaum itulah pada hakikatnya adalah pengikut -pengikutmu.” (HR. Imam Al-Hakim).

Abu Musa Al-Asy’ari Radiallahu’anhu adalah salah seorang sahabat Rasulallah saw yang utama. Nama lengkap Beliau adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim bin Hadhar bin Harb bin Aamir nasabnya sampai kepada Asy’ari bin Adad. Nabi memanggilnya dengan Abdullah bin Qais. Seperti dalam hadis yang di riwayatkan oleh Abu Musa Ra, bahwa Rasulallah mengatakan kepadanya: “Ya Abdulah bin Qais inginkah kamu aku ajarkan satu kalimat perbendaharaan surga? yaitu “La Haula Wala Quwata Illa Billah” .Julukan “Abu Musa” di ambil dari nama salah satu anaknya. Ia juga salah satu pakar fiqih yang cukup di segani di kalangan para sahabat Nabi. Ahli seni dalam membaca Al-Qur’an. Dasar itulah yang membuat Rasulallah saw begitu dekat dengan beliau (Abu Musa Al-Asy’ari ) begitu juga dengan pengikut-pengikutnya yang bersikap loyal di kemudian hari. Ia masuk Islam diawal masa kenabian dan termasuk dalam golongan “Assabiquuna Ila Al-Islam”,. Abu Musa dalam masa hidup setelah Islamnya memiliki sifat-sifat mulia. Ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan pemanah yang tangguh bila dihadapkan pada hal-hal yang darurat. Dan ia juga seorang faqih bijaksana yang memiliki otak jenius yang mampu dalam memecahkan beberapa macam problema serta memberikan cahaya penerang dalam masalah fatwa-fatwa dan pengadilan, sehingga ia disebut sebagai salah satu dari empat hakim ummat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Sya’biy: “ Qodhotu Hazihi al-Ummah Arba’atun: Umar, Ali, Zaid bin Tsabit wa Abu Musa”.

Beliau amat terkenal dengan kedalamannya terhadap ilmu agama, seorang ahli ibadah yang wara’, memiliki sifat pemalu, ahli zuhud di dunia, kuat dalam pendirian dan sifat-sifat mulia yang lain yang disandangnya. Imam Adz-Dzahabiy mengatakan, ”Abu Musa adalah seorang qori yang memiliki suara yang indah dan seorang terkemuka di Bashrah didalam membaca dan memahami Al-Quran”. Rasulallah menyebut kaum yang di pimpin Abu Musa ini dengan nama Al-Asy’ariyin.

Waktu berjalan. Realita menunjukan bahwa kaum dan anak cucu Abu Musa Al-Asy’ari r.a hingga kini cenderung berfokus pada kegiatan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Rata-rata mereka mencurahkan intelektualitas pada ormas-ormas yang bergerak demi kemaslahatan umat. Yang kemudian menjadi panutan di wilayahnya masing masing. Ketika terjadi peperangan Siffin dalam suatu perundingan, beliau “Abu Musa r.a” menjadi perwakilan dari pihak Sayidina Ali. Dan Amru bin Ash menjadi perwakilan di pihak Sayidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Semoga mereka mendapat Ridhonya Allah swt atas ijtihadnya masing-masing.

Para ulama berbeda pendapat terhadap tahun wafatnya Abu Musa r.a. kebanyakan dari perkataan mereka, tidak lebih dari tahun empat puluhan dari tahun Hijrah, diantaranya pendapat Imam Ibnu Al-Asakir mengatakan: “Abu Musa meninggal di Kufah, dan dikatakan di Mekkah pada tahun 42 hijrah, dan dikatakan pada tahun 44 hijrah, pada waktu itu beliau berumur 63 tahun”. Sebagaimana Imam Adz-Dzahabiy juga membenarkan bahwa beliau wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 44 Hijrah. Wallahu A’lam.

Dari sahabat Abu Musa inilah nasab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Datuknya, Abu Musa Al-Asy’ari merupakan salah satu sahabat Nabi terkemuka. Menurut beberapa riwayat, Abu Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia pindah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H / 935 M. Menurut Imam Ibnu Asakir (Sejarawan Muslim), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlus Sunnah dan merupakan Ahli Hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sepeninggal Isma’il bin Ishaq, ibunda Ali bin Isma’il menikah dengan syekh Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubba’I (Wafat 303 H), seorang tokoh Mu’tazilah terkemuka.

Pada masa (Abad 3 H) itu banyak ulama Mu’tazilah mengajar di Basrah, Kuffah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abasiyah yaitu Ma’mun bin Harun Al Rasyid ( 198-227 H ), Al mu’tashim ( 218-227 H ), Al Watsiq ( 227-232 H ) adalah khalifah-khalifah penganut faham Mu’tazilah atau setidaknya adalah penyokong faham ini pada zamannya. Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang di namakan “Fitnah Qur’an Makhluk” yang mengorbankan banyak ulama yang tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah. Ahmad bin Hambal, Imam Buwaithi adalah di antara korbannya.

Pada masa Al-Asy’ari muda, ulama-ulama Mu’tazilah sangat banyak di Basrah, Kuffah dan Baghdad. Masa itu masa ke emasan bagi faham Mu’tazilah karena fahamnya di sokong oleh pemerintahan. Beliau pada mulanya adalah murid dari bapak tirinya Al-Juba’i tokoh Mu’tazilah. Setelah sekian lama mempelajari faham Mu’tazilah, Al-Asy’ari melihat bahwa dalam faham ini banyak terdapat kesalahan besar. Banyak yang bertentangan dengan I’tiqod dan kepercayaan Rasulallah saw, para sahabat, Quran dan Hadist. Pada usia 40 tahun, Al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, beliau diperingatkan oleh Rasulullah saw agar meninggalkan faham Mu’tazilah, menurut beberapa Sumber yang penulis temui. Bahwa menikahnya ibunda Al-Asy’ari dengan Al-Juba’i dan belajarnya Al-Asy’ari muda kepada Al-Juba’i adalah dalam rangka mempelajari ajaran ini sebagai bekal untuk melawannya di kemudian hari (Wallahu'alam). Terbukti di kemudian hari Al-Asy’ari berhasil menghujjah dan mengkanvaskan Al-Juba’i dalam perdebatan yang masyhur.

Pada suatu hari beliau naik kemimbar di Masjid Bashrah dan berpidato di antara pidato beliau: “Saudara-saudara kaum muslimin yang terhormat! Siapa yang sudah mengetahui saya baiklah, tetapi bagi yang belum”. Saya adalah Abu Hasan Ali Al-Asy’ari anak dari Ismail bin Abi Basyar. Dulu saya berpendapat bahwa Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa di lihat dengan mata kepala di akhirat dan manusia bisa menciptakan perbuatannya sendiri serupa dengan kaum Mu’tazilah. Sekarang saya katakana, saya telah taubat dari faham Mu’tazilah dan saya lemparkan I’tiqod Mu’tazilah itu sebagai mana saya lemparkan baju saya ini (Ketika itu di bukanya bajunya dan di lemparkan)”. Sejak itu Al-Asy‘ari berjuang melawan kaum Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum Mu’tazilah dimana-mana merumuskan dan membuat kitab-kitab I’tiqod kaum Ahlu Sunah Wal Jama’ah.

Maka pengikut Imam Asy’ari adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Imam Abu Mansyur Al-Maturiddi
Abu Mansyur al-Maturidi mempunyai nama lengkap adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Samarqandi Al-Maturidi Al-Hanafi. Beliau lahir di Maturrid, sebuah kota kecil di Samarkand. Nama Al-Maturridi nisbatkan dari dari tempat kelahirannya Maturrid. Wafat tahun 333 H, 9 tahun setelah wafatnya Al-Imam Asy’ari. Tidak ada data yang menerangkan bahwa kedua imam ini pernah bertemu walaupun hidup dalam satu zaman, Imam Asy’ari di Bashrah-Irak dan Imam Maturridi di Maturrid-Samarkand-Rusia. Imam Maturridi lebih dekat kepada Imam Hanafi dan Asy’ari kepada Imam Syafi’i, maka dalam masalah fiqih kedua imam tersebut terdapat perbedaan dalam beberapa segi walaupun tidak mendasar.

Kedua Imam ini terdapat banyak persamaan yang mendasar dalam masalah Aqidah, dan tersebut dalam Kitab “Ihtihaf Sadatul Muttaqin” karya "Al-Hafidz Sayyid Murtadha al-Husaini az-Zabidi" yaitu kitab syarah dari “Ihya Ulumudin” karya Imam al-Ghozali, pada zilid II hal 6. dijelaskan:  
Dalam kancah sejarah Abu Hasan Al-Asy’ari lebih di kenal daripada Abu Mansur Al Maturridi. Padahal hakikatnya baik Al-Asy’ari maupun Al-Maturidi merupakan dua pembesar Ahli Sunnah Wal Jamaah. Ketidak populeran Al Maturidi dibanding dengan Al Asy’ari dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya:
1.      Para Sejarawan tidak mencantumkan pada tarajum-tarajum karangannya. Diantaranya yaitu Ibnu Al-Nadim (379 H/987M) yang wafat 50 tahun setelah wafatnya Al-Maturidy. Padahal ia mencantum Imam At-tahawi dan Imam Al-Asy’ari. Demikian pula sejarawan yang lain seperti Ibnu Kholikan, Ibnu Al ‘Amad, Assyafadi, Ibnu Khaldun pun tidak mencantumkannya dalam Kitab Muqoddimahnya dalam Ilmu Kalam. Begitu pula Imam Jalaludin As-Suyuti tidak mencantumkanya dalam Kitab Thobaqot al-Mufassirin, padahal Al Maturridi disamping seorang mutakalim dia juga seorang mufasir.
2.      Faktor geografis. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya Al-Maturridi hidup di Samarkan yang jauh dari Irak yang saat itu merupakan pusat perkembangan Islam dan disaat yang sama Al-Asy’ari mulai memperkenalkan ajaran-ajarannya disana.
Asya’irah dan Maturidiyah merupakan dua teologi Islam yang legendaris yang masih eksis hingga saat ini, yang kita kenal dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Aliran Maturridiah banyak dianut umat Islam yang bermadzhab Hanafi sedangkan Asy’ariyah banyak dipakai oleh umat Islam bermadzhaf syafi'i .

Maka pengikut Imam al-Maturidi adalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah.

Adapun Pokok-pokok Pemikiran Dua Imam ini.
Pokok-pokok pikiran Imam Al-Asy’ari:
a.      Masalah Iman: Tashdiq di dalam hati di ikuti dengan perkataan dan di buktikan dengan perbuatan.
b.      Qodlo dan qodhar dalam hubungannya dengan perbuatan manusia:
Di rumuskan dalam bentuk pertanyaan: Apakah perbuatan manusia di ujudkan oleh Tuhan atau oleh Manusia itu sendiri: Yaitu qodlo sifatnya qodim yaitu kehendak yang Azali,sedangkan Qodhar sifatnya adalah hudus/baru yaitu wujud pekerjaan manusia itu. Dengan kata lain terwujudnya perbuatan manusia adalah atas Qudrat dan Iradatnya Allah Ta,ala.
c.       Sifat dan dzat Allah Ta’ala: Imam Asy’ari menetapkan adanya sifat Allah Ta’ala sebagaimana yang tercantum dalam Alqur’an dan Sifat Allah bukan dzat Allah. Dzat Allah adalah tidak butuh kepada Dzat lain dan tidak butuh kepada yang menjadikan,sifat Allah adalah sifat yang qodim.

Pokok-pokok pemikiran Imam Al Maturridi:
a.      Masalah Iman: Iman adalah ikrar dengan lisan dan tashdiq di dalam hati,serta ikrar itu adalah bagian dari iman.
b.      Qodlo dan qodhar dalam hubungannya dengan perbuatan manusia:


Kemauan manusia itu sebenarnya adalah kemauan Allah,akan tetapi perbuatan manusia itu tidak selamanya sesuai dengan kehendak Tuhan,sebab dia selalu menghendaki yang baik,bukan yang tidak baik.dan ini adalah prosedur akal saja sebab baik buruk adalah semua dari Qudrat dan iradatnya Allah Ta’ala.
c.       Tentang sifat tuhan: Sifat tuhan adalah sifatnya tidak perlu di permasalahkan lagi.

Dikarena dua ulama ini adalah mempunyai kedua pikiran yang sama yang mengikuti Rosulullah maka dua ulama ini sebagai representasi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebagaimana dua ulama ini diakui sebagai ulama yang telah merumuskan ilmu Ushuluddin dan mengumpulkan pendapat ulama salaf menjadi sebuah Kosensus dan kesepakatan (Ijma’) ulama dalam satu prisip Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Pendapat Penyatuan Dua Imam yaitu Imam Asy’ari dan al-Maturidi
Sebagaimana pendapat para ulama bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Diantaranya:
Berkata Al-Hafidz Sayyid Murtadha az-Zabidi (W. 1205 H), pengarang Kitab “Ittihof Sadaatul Muttaqin”, yaitu kitab yang mensyarah kitab “Ihya Ulumuddin”, karangan Imam Al-Ghozali :

إذَا أطلق أهلُ السنة والجَماعة فالمراد بِهِم الأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ

Artinya: “Apabila disebut “Ahlussunah Wal Jama’ah” maka yang dimaksudkan dengan ucapan itu ialah paham atau fatwa-fatwa yang disiarkan oleh Imam Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi”. (Kitab I’ithof jilid II, halaman 6). 

“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’iroh (Para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (Para pengikut faham Abu Mansyur al-Maturidi” (Kitab Ithof Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, Juz 2, hal. 6.).

Adapun hukumnya (Mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (Nama) Ahlus Sunnah sehingga dijuluki dengan Asya’iroh (Pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)”. (Kitab Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrowi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).

Begitu pula menurut Ahlus Sunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi”. (Kitab Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103).

Dan Ahlul-Haqq (Orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlus Sunnah Asya’iroh dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rosulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syeikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi”. (Kitab Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, Juz 1, hal. 105).

Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi rodhiyallaahu ‘anhumaa (Semoga Allah ridho kepada keduanya)”. (Kitab Hasyiyah At-Thahthowi ‘ala Maroqi al-Falah, Ahmad At-Thahthowi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4)

Didalam Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah Sayyid syaikh Muhammad alwi al maliki alhasani al makki diterangkan: “Al-Asya’irah adalah mereka para imam simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama Ahlussunnah yang menentang kesewenang-wenangan Mu’tazilah. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-Asya’irah digambarkan dalam kitab al-Fataawaa, jilid 4 sebagai berikut: “Para ulama adalah pembela ilmu agama dan al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama (ushuluddin)”. Al-Asya’irah (penganut madzhab al-Asy’ari) terdiri dari kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti: Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi sebagai gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathu al-Bari ‘ala Syarhi al-Bukhaari. Syaikhul Ulamai Ahlissunnah, al-Imam an-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun banyak kitab populer. Syaikhul Mufassirin al-Imam al-Qurthubi penyusun tafsir al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an. Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami, penyusun kitab az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba’ir. Syaikhul Fiqh, al-Hujjah (argumentasi) dan ats-Tsabat (tokoh ulama yang dipercaya) Zakariya al-Anshari. Al-Imam Abu Bakar al-Baaqilani. Al-Imam al-Qashthalani. Al-Imam an-Nasafi. Al-Imam asy-Syarbini. Abu Hayyan an-Nahwi, penyusun tafsir al-Bahru al-Muhith. Al-Imam Ibnu Juza, penyusun at-Tashiil fi ‘Uluumi at-Tanzil Dan lain sebagainya. Mereka semuanya termasuk a’immah (Para imam) asy’ariyyah. Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan al-Asya’irah, maka keadaan tidak akan memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai nama para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni mereka yang telah mengabdi kepada syari’at Sayyidul Mursaliin dari kalangan ulama’”. (Dapat dilihat secara lengkap pada kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah dan Kitab al-’Allaamah asy-syaich Muhammad ‘Ali ash-Shobuni “Mas’alat al-Asyaa’irah min Buhuts Thawiilah wa Muhimmah”)

Keistimewaan Aswaja Maturidi atau juga asya`iroh atau juga sunni dalam menegakkan pahamnya ialah, dengan mengutamakan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits dan juga dengan pertimbangan akal dan pikiran, tidak seperti kaum Mu’tazilah yang mendasarkan pikirannya kepada akal dan falsafah yang berasal dari Yunani dalam membicarakan Ushuluddin dan pula tidak seperti kaum Mujassimah (kaum yang menyerupakan Tuhan dengan makhluq) yang memegang arti lahir dari Qur’an dan Hadits, sehingga sampai mengatakan bahwa Tuhan bertangan, Tuhan bermuka, Tuhan duduk-duduk diatas ‘arsy, dan lain-lain sebagainya. Golongan ini adalah para pemimpin ulama yang membawa petunjuk dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan disepakati oleh manusia sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama Ahlussunnah berwibawa tinggi yang berdiri teguh menentang kecongkaan dan kesombongan golongan Mu’tazilah dan aliran sesat dan menyimpang lainnya hingga hari ini. Dan begitu banyak kitab-kitab yang menyatakan hal ini hingga hari ini.

Demikian. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar