Oleh: Pray. Ksn
Bismillahirrohmaanirrohiim.
Mereka Dahulu-
Apakah mencium tangan dan berdiri hal yang dilarang?
Mencium Tangan merupakan kebiasaan kita dari kecil bahkan
hingga hari ini masih tetap kita lakukan sebagai rasa hormat kita terhadap
orang yang lebih tua dari kita, saudara-saudara dan sanak famili yang lebih
tua, kepada guru-guru kita, terhadap para alim ulama, orang-orang sholeh, para
penguasa sholeh, orang-orang kaya yang sholeh bahkan terhadap orang yang
berlaku dholim dan hina sebagai perantara tujuan penyadaran terhadap orang
tersebut. Siapapun dan tujuan apapun itu, mencium tangan merupakan hal yang Mustahab
(Sunnah) yang dibenarkan oleh agama Islam dan disukai Allah.
Orang-orang terdahulu melakukan hal ini.
Diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dan lainnya, bahwa ada
dua orang Yahudi bersepakat menghadap Rosulullah. Salah seorang dari mereka
berkata: “Mari kita pergi menghadap orang yang mengaku Nabi ini untuk
menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa”. Tujuan
kedua orang Yahudi ini adalah hendak mencari kelemahan Rosulullah, karena
beliau adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka
menganggap bahwa Rosulullah tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut.
Ketika mereka sampai di hadapan Rosulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat
yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s tersebut, maka Rosulullah menjelaskan
kepada keduanya secara rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini
sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rosulullah. Keduanya orang
Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rosulullah dan kakinya.
Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa hadits ini Hasan Shohih.
Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat
Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata: “Ketika turun ayat tentang (diterimanya)
taubat-ku, aku mendatangi Rosulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua
lututnya”
Didalam Kitab Al-Adab Al-Mufrod yang diriwayatkan oleh
Al-Imam al-Bukhori bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Tholib telah mencium tangan
al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththolib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi
derajatnya dari pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri
dan seorang yang sholeh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut.
Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang
dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rosulullah meninggal. ‘Abdullah ibn
‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rosulullah lainnya untuk menuntut ilmu
dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang
sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit
sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas
memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit.
‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya
tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas,
karena dia adalah keluarga Rosulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah
kami memperlakukan keluarga Rosulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua
dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn
al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.
Ibn Sa’ad juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam Kitab
Thobaqot dari ‘Abd ar-Rohman ibn Zaid al-‘Iroqi, bahwa ia berkata: “Kami telah
mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Robdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya
yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini
aku telah membaiat Rosulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau
dan menciumnya”.
Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shohih bahwa
al-Imam Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhori. Al-Imam Muslim berkata
kepadanya:
وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ
رِجْلَكَ.
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”.
Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar
al-‘Asqolani menuliskan sebagai berikut: “Tentang masalah mencium tangan ada
banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau
mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar,
dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rosulullah, beliau berkata:
فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rosulullah lalu kami cium tangan
dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)
Di antaranya juga hadits Shofwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada
seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini
(Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan
hadits ini disebutkan:
فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ
وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata:
Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan
(al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu
Dawud) dengan sanad yang kuat.
Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan
‘Abd al-Qais, bahwa ia berkata:
فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ
رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium
tangan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (Tersebarnya kabar
dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari 'Aisyah, bahwa ia berkata:
“Abu Bakar berkata kepadaku:
قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.
“Berdirilah dan cium kepalanya (Rosulullah)”. (HR.
Ath-Thobaroni dalam Kitab al-Mu’jam al-Kabir).
Dalam Kitab Sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi
dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ
سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا
دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا
فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ
بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan
Rosulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika
Fathimah datang kepada Rosulullah, maka Rosulullah berdiri menyambutnya lalu
mengambil tangan Fathimah, kemudian Rosulullah mencium Fathimah dan membawanya
duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rosulullah datang kepada Fathimah,
maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rosulullah, kemudian
mencium Rosulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.
Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab
at-Talkhish al-Habir.
Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil
tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat,
jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan
menampakkan keangkuhan.
Sedangkan hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam
at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka
melihat Rosulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa
Rosulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan
berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rosulullah tidak menyukai
hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan
demikian, Rosulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan
keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rosulullah kadang
suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena
beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud
dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rosulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ
الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد
والتّرمذيّ)
berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang
biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka.
Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri
untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja
pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan
Tamatstsul dalam Bahasa Arab.
Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa
Rosulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini
adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits.
Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits
dho’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia
meninggalkan sekian banyak Hadits Shohih yang membolehkan mencium tangan, dan
dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar